Satwa liar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dua ekor citah saling membersihkan diri seusai makan

Satwa liar atau hewan liar (bahasa Inggris: wild animals) adalah sebutan bagi hewan yang belum mengalami domestikasi. Sebagian besar satwa liar hidup di habitatnya. Namun, beberapa di antara mereka hidup cukup dekat dengan manusia dengan tingkat interaksi yang berbeda-beda. Banyak perilaku manusia yang membahayakan kelangsungan hidup satwa liar, tetapi ada pula kegiatan konservasi yang berusaha menjaga kelestarian mereka.

Definisi[sunting | sunting sumber]

Satwa liar adalah hewan yang belum didomestikasi dan biasanya hidup di lingkungan alami. Domestikasi merupakan proses adaptasi tumbuhan liar dan hewan liar, yang melibatkan perubahan genetik dan pembiakan selektif dari generasi ke generasi, sehingga mereka dapat hidup berdampingan dengan manusia.[1] Meskipun demikian, perbedaan antara satwa liar dan hewan domestik tidak selalu jelas. Beberapa satwa liar bisa menjadi jinak yang dapat menoleransi keberadaan manusia. Penjinakan adalah proses menjadikan satwa liar terbiasa dengan kehadiran manusia, tanpa mengubah susunan genetiknya.[2] Sebaliknya, hewan-hewan domestik juga bisa kehilangan sifat toleran terhadap manusia. Mereka disebut sebagai hewan feral.[3] Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu hewan termasuk satwa liar atau domestik antara lain tingkat modifikasi genetik serta tingkat ketergantungan, pengendalian, dan interaksi hewan dengan manusia. Secara legal, definisi satwa liar mengacu pada hukum atau regulasi yang berlaku di suatu negara atau suatu perjanjian internasional.[4]

Kelangsungan hidup[sunting | sunting sumber]

Sejak sebelum proses domestikasi hewan, manusia telah hidup bersama satwa liar dengan interaksi yang terbatas. Seiring dengan perkembangan zaman, terutama sejak munculnya pertanian yang kemudian berlanjut dengan modernisasi, kendali manusia atas hewan semakin kuat, luas, dan kompleks.[5] Manusia merupakan faktor utama yang menyebabkan peristiwa kepunahan massal keenam, termasuk punahnya berbagai satwa liar, terutama golongan megafauna.[6][7]

Ancaman[sunting | sunting sumber]

Aktivitas manusia memiliki peran besar dalam penurunan populasi satwa liar, baik mengurangi jumlah satwa liar secara langsung (misalnya dengan berburu) maupun mengubah habitat alami satwa (misalnya dengan deforestasi dan polusi). Selain itu, kelangsungan hidup satwa liar juga terancam antara lain oleh penyakit, spesies invasif, dan perubahan iklim.[8][9]

Gading yang disita di Suaka Margasatwa Nasional Rocky Mountain Arsenal di Colorado, Amerika Serikat pada tahun 2013

Dampak perburuan terhadap satwa liar sangat bervariasi tergantung pada jenis, frekuensi, dan legalitas praktik perburuan.[10] Banyak satwa liar yang diburu untuk diambil daging, kulit, atau tanduknya, baik untuk diternakkan maupun untuk diperdagangkan secara komersial. Beberapa orang juga menjadikan berburu sebagai hobi dan olahraga,[11][12] atau sebagai kegiatan untuk mengurangi populasi satwa yang dianggap sebagai hama atau vermin.[13][14] Berbagai regulasi telah dibuat agar perburuan satwa liar menjadi aktivitas yang terkendali dan dapat diperkirakan dampak ekonomi, sosial, dan ekologisnya. Di Afrika Selatan, ribuan orang setiap tahun berpartisipasi dalam wisata berburu yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi negara ini.[15] Akan tetapi, perburuan ilegal—yang menurunkan populasi satwa dan merusak ekosistem—masih menjadi masalah yang ditemui di berbagai belahan dunia.[16] Sebagai contoh, lebih dari 100 ribu gajah afrika dibunuh antara tahun 2007 dan 2017 untuk diambil gadingnya.[17]

Perubahan penggunaan lahan oleh manusia berdampak terhadap habitat satwa liar. Deforestasi mengubah hutan menjadi lahan pertanian, peternakan, atau permukiman penduduk.[18] Rusaknya habitat dapat berujung pada hilangnya keanekaragaman hayati.[19] Satwa liar yang mengalami penyempitan tempat hidup—akibat terdesak oleh manusia—kemudian tinggal di lokasi yang lebih dekat dengan kehidupan manusia. Interaksi antara satwa liar dan manusia ini dapat berupa koeksistensi atau konflik.[20][21] Perubahan habitat tidak hanya dialami oleh satwa terestrial, tetapi juga satwa akuatik.[22] Polusi dan kerusakan fisik lingkungan akibat lalu lintas alat transportasi laut dan pekerjaan konstruksi turut berkontribusi pada perubahan ekosistem laut.[23][24]

Dukungan[sunting | sunting sumber]

Berbagai gerakan konservasi telah dibentuk untuk menjaga kelestarian satwa liar. Biologi konservasi muncul sebagai kajian multidisiplin yang banyak diteliti dan dipraktikkan di seluruh dunia. Banyak negara dan organisasi internasional, seperti Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), telah membuat regulasi tentang pelindungan alam, termasuk pelindungan satwa liar. Contoh penerapan regulasi tersebut adalah penetapan kawasan lindung serta penetapan status konservasi dan pelindungan terhadap spesies langka.[25][26] Daftar merah IUCN, yang pertama kali disusun pada tahun 1964, mengelompokkan spesies hewan dan tumbuhan berdasarkan ancaman atau risiko kepunahannya.[27] Sementara itu, CITES mengatur dan memastikan hewan dan tumbuhan yang diperdagangkan antarnegara tidak mengancam keberlangsungan spesies tersebut di alam liar.[28]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Cucchi, Thomas; Arbuckle, Benjamin (2021). "Animal domestication: from distant past to current development and issues". Animal Frontiers. 11 (3): 6–9. doi:10.1093/af/vfab013. ISSN 2160-6056. 
  2. ^ Sciences (US), National Academy of; Avise, John C.; Ayala, Francisco J. (2009). From Wild Animals to Domestic Pets, an Evolutionary View of Domestication. National Academies Press (US). 
  3. ^ Langley, Liz (10 Maret 2023). "What makes an animal 'feral'?". National Geographic. Diakses tanggal 13 Januari 2024. 
  4. ^ Tian, Miaomiao; Potter, Gary R.; Phelps, Jacob (2023). "What is "wildlife"? Legal definitions that matter to conservation". Biological Conservation. 287: 110339. doi:10.1016/j.biocon.2023.110339. 
  5. ^ Narayan, Edward; Rana, Naureen (2023). "Human-wildlife interaction: past, present, and future". BMC Zoology. 8 (1): 5. doi:10.1186/s40850-023-00168-7. ISSN 2056-3132. 
  6. ^ Vignieri, Sacha (2014). "Vanishing fauna". Science. 345 (6195): 392–395. doi:10.1126/science.345.6195.392. ISSN 0036-8075. 
  7. ^ Bergman, Juraj; Pedersen, Rasmus Ø.; Lundgren, Erick J.; Lemoine, Rhys T.; Monsarrat, Sophie; Pearce, Elena A.; Schierup, Mikkel H.; Svenning, Jens-Christian (2023). "Worldwide Late Pleistocene and Early Holocene population declines in extant megafauna are associated with Homo sapiens expansion rather than climate change". Nature Communications. 14 (1). doi:10.1038/s41467-023-43426-5. ISSN 2041-1723. 
  8. ^ Crowl, Todd A.; Crist, Thomas O; Parmenter, Robert R.; Belovsky, Gary; Lugo, Ariel E. (2008). "The spread of invasive species and infectious disease as drivers of ecosystem change". Frontiers in Ecology and the Environment. 6 (5): 238–246. doi:10.1890/070151. ISSN 1540-9295. 
  9. ^ Mainka, Susan A.; Howard, Geoffrey W. (2010). "Climate change and invasive species: double jeopardy". Integrative Zoology. 5 (2): 102–111. doi:10.1111/j.1749-4877.2010.00193.x. ISSN 1749-4877. 
  10. ^ Festa-Bianchet, Marco; Mysterud, Atle (2018). "Hunting and evolution: theory, evidence, and unknowns". Journal of Mammalogy. 99 (6): 1281–1292. doi:10.1093/jmammal/gyy138. ISSN 0022-2372. 
  11. ^ Di Minin, Enrico; Clements, Hayley S.; Correia, Ricardo A.; Cortés-Capano, Gonzalo; Fink, Christoph; Haukka, Anna; Hausmann, Anna; Kulkarni, Ritwik; Bradshaw, Corey J.A. (2021). "Consequences of recreational hunting for biodiversity conservation and livelihoods". One Earth. 4 (2): 238–253. doi:10.1016/j.oneear.2021.01.014. 
  12. ^ "Recreational hunting: 50 years of scientific research". Africa Geographic. 10 Mei 2021. Diakses tanggal 27 Januari 2024. 
  13. ^ Mavhunga, Clapperton Chakanetsa (2011). "Vermin Beings". Social Text. 29 (1): 151–176. doi:10.1215/01642472-1210302. ISSN 0164-2472. 
  14. ^ Rosa, Clarissa Alves Da; Wallau, Marcelo Osório; Pedrosa, Felipe (2018). "Hunting as the main technique used to control wild pigs in Brazil". Wildlife Society Bulletin. 42 (1): 111–118. doi:10.1002/wsb.851. ISSN 1938-5463. 
  15. ^ Saayman, Melville; van der Merwe, Petrus; Saayman, Andrea (2018). "The economic impact of trophy hunting in the south African wildlife industry". Global Ecology and Conservation. 16: e00510. doi:10.1016/j.gecco.2018.e00510. 
  16. ^ Challender, Daniel W.S.; MacMillan, Douglas C. (2014). "Poaching is more than an Enforcement Problem". Conservation Letters. 7 (5): 484–494. doi:10.1111/conl.12082. ISSN 1755-263X. 
  17. ^ Hall, Jani (12 Februari 2019). "Poaching animals, facts and information". National Geographic. Diakses tanggal 28 Januari 2024. 
  18. ^ Einhorn, Catrin; Leatherby, Lauren (9 Desember 2022). "Animals Are Running Out of Places to Live". The New York Times. ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 28 Januari 2024. 
  19. ^ Brooks, Thomas M.; Mittermeier, Russell A.; Mittermeier, Cristina G.; Da Fonseca, Gustavo A. B.; Rylands, Anthony B.; Konstant, William R.; Flick, Penny; Pilgrim, John; Oldfield, Sara (2002). "Habitat Loss and Extinction in the Hotspots of Biodiversity". Conservation Biology. 16 (4): 909–923. doi:10.1046/j.1523-1739.2002.00530.x. ISSN 0888-8892. 
  20. ^ Nyhus, Philip J. (2016). "Human–Wildlife Conflict and Coexistence". Annual Review of Environment and Resources. 41 (1): 143–171. doi:10.1146/annurev-environ-110615-085634. ISSN 1543-5938. 
  21. ^ Bhatia, Saloni; Redpath, Stephen Mark; Suryawanshi, Kulbhushansingh; Mishra, Charudutt (2020). "Beyond conflict: exploring the spectrum of human–wildlife interactions and their underlying mechanisms". Oryx. 54 (5): 621–628. doi:10.1017/S003060531800159X. ISSN 0030-6053. 
  22. ^ McCauley, Douglas J.; Pinsky, Malin L.; Palumbi, Stephen R.; Estes, James A.; Joyce, Francis H.; Warner, Robert R. (2015). "Marine defaunation: Animal loss in the global ocean". Science. 347 (6219). doi:10.1126/science.1255641. ISSN 0036-8075. 
  23. ^ Threats to the Marine Environment: Pollution and Physical Damage. 13. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. 2008. hlm. 23–36. doi:10.1007/978-3-540-78779-2_2. ISBN 978-3-540-78778-5. 
  24. ^ Erbe, Christine; Marley, Sarah A.; Schoeman, Renée P.; Smith, Joshua N.; Trigg, Leah E.; Embling, Clare Beth (2019). "The Effects of Ship Noise on Marine Mammals—A Review". Frontiers in Marine Science. 6. doi:10.3389/fmars.2019.00606. ISSN 2296-7745. 
  25. ^ Barnes, Megan (5 September 2016). "Protected areas are helping save our favourite animals – but let's not forget the others". The Conversation. Diakses tanggal 28 Januari 2024. 
  26. ^ Barnes, Megan D.; Craigie, Ian D.; Harrison, Luke B.; Geldmann, Jonas; Collen, Ben; Whitmee, Sarah; Balmford, Andrew; Burgess, Neil D.; Brooks, Thomas (2016). "Wildlife population trends in protected areas predicted by national socio-economic metrics and body size". Nature Communications. 7 (1). doi:10.1038/ncomms12747. ISSN 2041-1723. PMC 5025815alt=Dapat diakses gratis. PMID 27582180. 
  27. ^ "Background & History". IUCN Red List. Diakses tanggal 28 Januari 2024. 
  28. ^ "How CITES works". CITES. Diakses tanggal 28 Januari 2024. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]