Donasi sperma

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Donor sperma)

Donasi sperma atau sumbangan sperma adalah pemberian (atau "donasi") sel sperma (disebut sperma donor) oleh seorang laki-laki (disebut donor sperma), yang pada dasarnya dilakukan dengan tujuan melakukan inseminasi pada seorang perempuan yang bukan pasangannya.

Sperma dapat disumbangkan secara privat dan langsung kepada penerima yang dimaksud, ataupun melalui bank sperma atau klinik fertilitas. Donasi sperma merupakan salah satu bentuk reproduksi pihak ketiga. Kehamilan biasanya diperoleh dengan menggunakan sperma donor dalam teknik-teknik teknologi reproduksi berbantuan (TRB) yang meliputi inseminasi buatan (baik inseminasi intraservikal (ICI) maupun inseminasi intrauterin (IUI) di suatu klinik, atau inseminasi intravaginal di rumah). Inseminasi juga dimungkinkan oleh seorang donor yang melakukan persetubuhan dengan seorang wanita demi tujuan semata-mata menginisiasi konsepsi atau pembuahan. Metode tersebut dikenal sebagai inseminasi alami.

Pada beberapa negara, setiap metode yang digunakan dapat memiliki konsekuensi dalam kaitannya dengan pengakuan secara hukum atas ayah sang anak yang dilahirkan (yakni pasangan sang ibu). Bagaimanapun, hakikat biologis konsepsi serta proses kehamilannya sama saja, dan donor sperma akan menjadi ayah biologis setiap anak yang dilahirkan dari sumbangannya.

Penerima Donor Sperma[sunting | sunting sumber]

Para penerima sperma donor utamanya adalah para wanita lajang, pasangan lesbian, dan pasangan heteroseksual yang mengalami infertilitas atau ketidaksuburan.[1]

Sperma donor dan 'perawatan kesuburan' dengan menggunakan sperma donor dimungkinkan untuk dilakukan di suatu bank sperma atau klinik fertilitas. Di tempat tersebut, penerima dapat memilih sperma donor atas dasar karakteristik donor, seperti penampilan, kepribadian, kemampuan akademik, ras, dan faktor lainnya. Klinik atau bank sperma kemungkinan tunduk pada regulasi pemerintah atau profesional, misalnya pembatasan anonimitas donor dan jumlah keturunan yang dapat dihasilkan, serta mungkin juga terdapat perlindungan hukum lainnya seputar hak dan tanggung jawab pihak penerima maupun donor. Beberapa bank sperma, baik karena pilihan mereka sendiri ataupun karena peraturan, membatasi jumlah informasi yang dapat diakses para penerima potensial; keinginan untuk memperoleh lebih banyak informasi mengenai donor dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa penerima mungkin lebih memilih untuk menggunakan seorang donor yang dikenal dan/atau donasi privat.

Dikatakan bahwa seorang donor sperma tidak dimaksudkan untuk menjadi ayah secara hukum atau de jure atas anak yang dilahirkan dari spermanya. Tergantung pada yurisdiksi dan hukum-hukumnya yang berlaku, ia mungkin saja atau mungkin juga tidak berhak untuk menuntut hak asuh sebagai orang tua ataupun berkewajiban sebagai orang tua.

Hukum[sunting | sunting sumber]

Hukum yang mengatur donasi sperma membahas isu-isu seperti pembayaran atau penggantian biaya yang diperbolehkan kepada donor sperma, hak dan tanggung jawab pihak donor pada keturunan biologisnya, hak sang anak untuk mengenai identitas ayahnya, serta isu-isu prosedural.[2] Masing-masing yurisdiksi memiliki hukum yang sangat bervariasi. Pada umumnya, kebanyakan hukum cenderung mengabaikan hubungan biologis donor sperma dengan sang anak, sehingga ia tidak memiliki kewajiban untuk memberikan tunjangan kepada sang anak ataupun hak atas sang anak. Dalam hal tidak adanya perlindungan hukum tertentu, pengadilan dapat memerintahkan seorang donor sperma untuk membayar tunjangan bagi sang anak atau mengakui hak-haknya sebagai orang tua.[3][4][5]

Hukum yang berlaku di banyak yurisdiksi atau wilayah hukum membatasi jumlah keturunan yang dapat dilahirkan dari seorang donor sperma, dan siapa saja yang dapat menjadi penerima sperma donor.

Penggunaan[sunting | sunting sumber]

Sperma donor umumnya dipergunakan dalam inseminasi buatan, melalui inseminasi intrauterin (IUI) ataupun inseminasi intraservikal (ICI). Dalam kasus yang lebih jarang, sperma donor dipergunakan dalam teknik-teknik reproduksi berbantuan lainnya seperti program "bayi tabung" (IVF) dan injeksi sperma intrasitoplasmik (ICSI). Seorang donor dimungkinkan juga untuk membuat penerimanya hamil melalui inseminasi alami. Sperma donor juga dapat dipergunakan dalam pengaturan surogasi ("rahim pengganti") baik melalui inseminasi sang "ibu pengganti" secara artifisial (dikenal sebagai surogasi tradisional) ataupun melalui implantasi embrio pengganti yang telah dihasilkan menggunakan sperma donor bersama dengan sel telur dari seorang donor atau dari 'wanita komisioning' (dikenal sebagai surogasi gestasional). Embrio-embrio sisa dari proses tersebut dapat disumbangkan kepada wanita lainnya. Sperma donor juga dapat digunakan untuk menghasilkan embrio-embrio dengan sel-sel telur donor yang kemudian disumbangkan untuk wanita yang secara genetik tidak terkait dengan anak yang ia lahirkan.

Dari aspek medis, menggunakan sperma donor untuk memperoleh suatu kehamilan tidak berbeda dengan menggunakan sperma dari pasangan sang wanita.

Prosedur apapun, misalnya inseminasi buatan ataupun "bayi tabung", yang mempergunakan sperma donor untuk menjadikan seorang wanita hamil, kendati bukan pasangannya atau tidak ada hubungannya dengan pria yang menyediakan sperma itu, dapat disebut sebagai "perawatan donor".

Suatu studi di Swedia menyimpulkan bahwa 94% donor potensial bersedia untuk menyumbangkan spermanya kepada wanita lajang dan 85% bersedia untuk menyumbangkannya ke wanita lajang lesbian atau pasangan lesbian.[6] Suatu tinjauan dari dua studi mendapati bahwa 50-68% donor yang sesungguhnya akan menyumbangkan spermanya kepada pasangan lesbian, dan 40-64% akan menyumbangkannya kepada wanita lajang.[6]

Masalah hukum[sunting | sunting sumber]

Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, praktik donasi sperma maupun sel telur adalah terlarang, atau ilegal, berdasarkan Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi Nomor 41 Tahun 2014.[7]

Tanggapan keagamaan[sunting | sunting sumber]

Terdapat beragam tanggapan keagamaan dalam hal donasi sperma. Beberapa pemikir agama mendukung sepenuhnya penggunaan sperma donor untuk memperoleh kehamilan, beberapa mendukung penggunaannya dalam kondisi tertentu, dan yang lain menentang sepenuhnya.

Katolisisme[sunting | sunting sumber]

Gereja Katolik secara resmi menentang praktik donasi sperma ataupun penggunaan sperma donor dengan pertimbangan bahwa tindakan-tindakan itu mengkompromikan persatuan seksual dalam hubungan suami-istri dan bahwa prokreasi seorang pribadi manusia sesungguhnya merupakan buah dari hubungan suami-istri yang disebabkan oleh cinta kasih antara keduanya.[8]

Yudaisme[sunting | sunting sumber]

Pemikir-pemikir Yahudi menganut posisi beragam dalam hal donasi sperma. Sejumlah komunitas Yahudi menentang sepenuhnya donasi sperma dari para donor yang bukan suami penerimanya, sementara yang lain menyetujui penggunaan inseminasi donor dalam beberapa bentuk, dan komunitas-komunitas liberal menerima sepenuhnya praktik ini.[9][10][11]

Protestanisme[sunting | sunting sumber]

Southern Baptist Convention menyatakan bahwa donasi sperma dari pihak ketiga melanggar ikatan perkawinan.[12]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) Rumbelow, Helen (2016-10-17). "Looking for a sperm donor? Swipe right; A new app that allows women to 'shop' for fathers raises difficult questions". The Times. Diakses tanggal 2016-10-17. ((Perlu berlangganan (help)). 
  2. ^ (Inggris) Jacqueline Acker (2013). "The Case for Unregulated Private Sperm Donation". UCLA Women's Law Journal. 
  3. ^ (Inggris) Malvern, Jack (2007-12-04). "Sperm donor forced to pay child support after lesbian couple split". The Times. London. Diakses tanggal 2009-06-29. 
  4. ^ (Inggris) Neil, Martha (2007-05-10). "Court Says Sperm Donor Owes Child Support". ABA Journal. Diakses tanggal 2009-06-29. 
  5. ^ (Inggris) Carne, Lucy (2007-12-02). "$PERM WAIL BY DONOR MUST PAY SORT 18 YRS. LATER". New York Post. Diakses tanggal 2009-06-29. 
  6. ^ a b (Inggris) Van Den Broeck, U.; Vandermeeren, M.; Vanderschueren, D.; Enzlin, P.; Demyttenaere, K.; d'Hooghe, T. (2012). "A systematic review of sperm donors: Demographic characteristics, attitudes, motives and experiences of the process of sperm donation". Human Reproduction Update. 19 (1): 37–51. doi:10.1093/humupd/dms039. PMID 23146866. 
  7. ^ Ayunda Pininta (17 April 2016), Akibat Donasi Sperma, 36 Anak Lahir dari Ayah Sakit Jiwa, Kompas.com 
  8. ^ (Inggris) Congregation for the Doctrine of the Faith: Instruction on Dignitas Personae on Certain Bioethical Questions, para. 12, quoting Congregation for the Doctrine of the Faith, Instruction Donum vitae, II, B, 4: AAS 80 (1988), 92., and Congregation for the Doctrine of the Faith, Instruction Donum vitae, Introduction, 3: AAS 80 (1988), 75.
  9. ^ (Inggris) "Artificial Insemination: Infertility and Judaism", Mazornet.com
  10. ^ (Inggris) Dorff, Elliot, "Artificial Insemination in Jewish Law"
  11. ^ (Inggris) Richard V. Grazi, MD, Joel B. Wolowelsky, PhD, "Donor Gametes for Assisted Reproduction in Contemporary Jewish Law and Ethics", Assisted Reproduction Reviews 2:3 (1992)
  12. ^ (Inggris) Woodruff, Teresa (2010). Oncofertility: Ethical, Legal, Social, and Medical Perspectives. Springer. hlm. 267. ISBN 1441965173. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]