Ibu pengganti

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Surogasi)

Ibu pengganti atau surogasi (Inggris: surrogacy) adalah suatu pengaturan atau perjanjian yang mencakup persetujuan seorang wanita untuk menjalani kehamilan bagi orang lain, yang akan menjadi orang tua sang anak setelah kelahirannya. Terdapat dua jenis utama surogasi, yaitu surogasi gestasional (juga dikenal sebagai surogasi penuh atau inang[1]) yang terjadi pertama kali pada bulan April 1986[2] dan surogasi tradisional (juga dikenal sebagai surogasi parsial, genetik, atau langsung[1]). Dalam surogasi gestasional, kehamilan terjadi akibat pemindahan atau transfer embrio yang diciptakan dengan program "bayi tabung" atau fertilisasi in vitro (IVF), dengan suatu cara tertentu sehingga anak yang dilahirkan tidak terkait secara genetik dengan sang inang atau "ibu pengganti". Pengganti gestasional juga disebut sebagai pembawa gestasional. Dalam surogasi tradisional, sang pengganti dijadikan hamil secara alami ataupun artifisial (buatan), tetapi anak yang dilahirkan memiliki keterkaitan genetik dengannya. Di Amerika Serikat, surogasi gestasional lebih umum daripada surogasi tradisional dan secara hukum dianggap tidak begitu kompleks.[3]

Mereka yang bermaksud menjadi orang tua mungkin akan melakukan suatu pengaturan surogasi ketika kehamilan tidak dimungkinkan secara medis ataupun risiko kehamilan menyajikan bahaya yang tidak dapat diterima bagi kesehatan sang ibu, dan merupakan suatu metode yang disukai pasangan sesama jenis untuk memiliki anak. Kompensasi dalam bentuk uang mungkin, atau mungkin juga tidak, dilibatkan dalam pengaturan ini. Apabila sang ibu pengganti atau yang rahimnya "dititipi" menerima uang untuk pelaksanaan surogasi maka pengaturan ini dianggap sebagai surogasi komersial. Apabila ia tidak menerima kompensasi selain penggantian biaya medis dan biaya lain yang sewajarnya maka disebut sebagai surogasi altruistik.[4]

Hukum surogasi di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Praktik surogasi dilarang di Indonesia. Larangan tersebut termuat dalam peraturan umum mengenai "bayi tabung" pada pasal 16 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan No.72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan. Dari kedua peraturan tersebut dapat disimpulkan kalau praktik "ibu pengganti" dilarang pelaksanaannya di Indonesia, dan dipertegas dengan adanya sanksi pidana bagi yang mempraktikkannya (pasal 82 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).[5]

Masalah etika[sunting | sunting sumber]

Masalah-masalah etika yang telah dikemukakan sehubungan dengan surogasi misalnya:[6]

  • Sejauh mana hendaknya masyarakat peduli tentang eksploitasi, komodifikasi, dan/atau paksaan ketika wanita dibayar untuk hamil dan melahirkan bayi, terutama dalam kasus di mana terdapat perbedaan kekayaan dan kekuasaan yang besar antara orang tua yang dimaksud dan ibu pengganti?
  • Sejauh mana masyarakat dibenarkan untuk mengizinkan wanita membuat kontrak tentang penggunaan tubuhnya?
    • Sejauh mana hak asasi wanita untuk membuat kontrak tentang penggunaan tubuhnya?
    • Apakah mengontrak untuk surogasi lebih seperti mengontrak untuk ketenagakerjaan, atau lebih seperti mengontrak untuk prostitusi, atau lebih seperti mengontrak untuk perbudakan?
    • Manakah, apabila ada, dari jenis-jenis kontrak tersebut yang seharusnya diberlakukan?
    • Perlukah negara dapat memaksa seorang wanita untuk menjalani "performa khusus" dalam kontraknya jika itu mengharuskannya melahirkan embrio yang ingin ia gugurkan, atau menggugurkan embrio yang ingin kandung dalam jangka waktu normal?
  • Apakah arti menjadi seorang ibu?
    • Apa hubungan antara ibu genetik, ibu gestasional, dan ibu sosial?
    • Apakah mungkin secara sosial atau secara hukum mengandung dalam beberapa mode keibuan dan/atau pengakuan beberapa ibu?
  • Perlukah seorang anak yang dilahirkan melalui surogasi memiliki hak untuk mengetahui identitas setiap/semua orang yang terlibat dalam konsepsi dan kelahiran anak tersebut?

Masalah keagamaan[sunting | sunting sumber]

Masing-masing agama memiliki pandangan yang berbeda terkait praktik surogasi atau "penyewaan rahim", biasanya terkait dengan sikap masing-masing terhadap teknologi reproduksi berbantuan secara umum.

Katolisisme[sunting | sunting sumber]

Pasal 2376 dalam Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa: "Teknik-teknik yang memisahkan persekutuan suami-istri, melalui tindakan campur tangan orang lain selain pasangan tersebut (pemberial sel telur atau sperma, rahim pengganti), adalah sangat tidak bermoral.[7]

Yudaisme[sunting | sunting sumber]

Para akademisi hukum Yahudi memperdebatkan masalah ini, beberapa di antara mereka berpendapat bahwa hak asuh orang tua ditentukan oleh wanita yang melahirkan sementara yang lainnya berpandangan bahwa orang tua genetik adalah orang tua yang sah secara hukum. Hal tersebut diperdebatkan dengan sengit pada beberapa tahun terakhir.[8][9] Belakangan, instansi-instansi keagamaan Yahudi menerima surogasi apabila yang dilakukan adalah surogasi gestasional penuh dengan melibatkan kedua sel gamet orang tua yang dimaksud dan fertilisasi dilakukan melalui metode IVF.[10]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b (Inggris) Imrie, Susan; Jadva, Vasanti (4 July 2014). "The long-term experiences of surrogates: relationships and contact with surrogacy families in genetic and gestational surrogacy arrangements". Reproductive BioMedicine Online. 29 (4): 424–435. doi:10.1016/j.rbmo.2014.06.004. 
  2. ^ (Inggris) http://www.people.com/people/archive/article/0,,20096199,00.html Diarsipkan 2016-04-23 di Wayback Machine.
  3. ^ (Inggris) "Using a Surrogate Mother: What You Need to Know". WebMD. Diakses tanggal April 6, 2014. 
  4. ^ (Inggris) "Reproductive Law". Lisa Feldstrin Law Office. Diakses tanggal March 4, 2016. 
  5. ^ Lucky Kresna Putra (1 September 2013), Mengenal Lebih Dekat Apa itu Surrogate Mother, Vemale.com 
  6. ^ (Inggris) Tong, Rosemarie (2011). "Surrogate Parenting". Internet Encyclopedia of Philosophy.
  7. ^ (Inggris) "Paragraph 2376", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  8. ^ (Inggris) Hakirah vol. 16 Gestational Surrogacy
  9. ^ (Inggris) Gray Matter, Jachter, Howard pp. 104-117
  10. ^ (Inggris) Schenker, J. G. (2008). [1][pranala nonaktif permanen] "Assisted Reproductive Technology: Perspectives in Halakha (Jewish Religious Law)". Reproductive Biomedicine Online (Reproductive Healthcare Limited), 17(S3), 17–24.

Bacaan tambahan[sunting | sunting sumber]