Teknik konseling

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teknik konseling, biasa disebut juga dengan istilah strategi konseling atau keterampilan konseling. Teknik konseling merupakan sebuah metode atau cara dalam konseling yang dipakai oleh konselor untuk membantu klien dalam mengenal potensi yang ada pada dirinya, memahami dan mengatasi keadaan yang sedang dihadapi klien, dengan mempertimbangan berbagai sisi seperti kondisi lingkungan sekitarnya yang meliputi budaya, agama, serta nilai-nilai sosial.[1]

Pentingnya penggunaan teknik konseling[sunting | sunting sumber]

Memahami serta menguasai teknik konseling merupakan hal yang wajib bagi seorang konselor. Dalam proses konseling, kunci dari tercapai atau tidaknya tujuan konseling dapat dilihat dari pengaplikasian teknik konseling yang digunakan. Hal tersebut menjadi landasan karena seorang konselor yang efektif, diwajibkan dapat memberi respons klien dengan teknik yang benar, agar konselor mampu memahami keadaan klien pada saat itu.[1] Ketika konselor mampu mengaplikasikan teknik  konseling dengan baik, maka konselor akan memberikan respons dengan pernyataan verbal maupun nonverbal yang bisa merangsang, menyentuh, serta mendorong klien untuk bersikap terbuka. Sehingga klien dapat mengungkapkan perasaan, pengalaman, serta pikirannya secara bebas.

Ragam teknik konseling[sunting | sunting sumber]

Terdapat 22 teknik yang dapat diaplikasikan dalam proses konseling.[2] Semua teknik ini tentu perlu diaplikasikan dalam proses konseling, akan tetapi, dalam memakai teknik juga harus memperhatikan bagaimana klien tersebut. Adapun teknik-teknik konseling tersebut yaitu:

  1. Perilaku attending. Perilaku attending merupakan perilaku yang menghampiri klien, yang  meencakup komponen kontak mata, bahasa lisan, dan bahasa badan. Perilaku attending yang baik dapat dicapai dengan mengombinasikan tiga komponen tersebut, fungsinya agar klien bisa tertarik untuk membuka diri untuk memulai pembicaraan. Dengan adanya attending, akan membuat tingkat percaya diri klien meningkat, memudahkan klien dalam mengekspresikan perasaannya, dan dapat menciptakan suasana yang aman.
  2. Empati. Empati merupakan kemampuan konselor dalam merasakan apa yang dirasakan oleh klien, merasa dan berpikir bersama klien, bukan tentang atau untuk klien. Melalui empati, klien dapat merasa lebih diperhatikan oleh konselor, merasa aman untuk bercerita tentang kondisi klien yang sebenarnya.[3]
  3. Refleksi. Refleksi merupakan keterampilan konselor dalam memantulkan kembali terkait pikiran, perasaan, serta pengalaman klien yang dilihat dari perilaku nonverbal dan verbalnya. Melalui  refleksi ini, konselor diharapkan mampu mendapatkan lebih banyak informasi tentang apa yang dirasakan klien, serta dapat menjadi pendengar yang aktif.
  4. Eksplorasi. Eksplorasi merupakan keterampilan konselor dalam menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien, dengan memperhatikan reaksi yang diberikan klien kepada konselor. Eksplorasi sangat penting karena ada klien yang menutup diri, menyembunyikan rahasia batin, serta tidak dapat mengungkapkan perasaannya secara terus terang. Teknik eksplorasi dilakukan agar klien dapat berbicara secara bebas tanpa rasa takut, merasa terancam, dan atau tertekan.
  5. Menangkap pesan utama (paraphrasing). Menangkap pesan utama merupakan kemampuan konselor dalam mengulangi intisari dari apa yang dilkatakan atau yang terlihat dari sikap klien secara hati-hati, dengan tetap memperhatikan pesan utama yang disampaikan oleh klien. Karena ada beberapa klien yang merasa kesulitan untuk menceritakan keadaannya secara jelas, maka paraphrasing berguna untuk memperjelas apa yang ingin dikatakan klien. Selain itu, paraphrasing juga dapat memperlihatkan bahwa saat itu konselor  ada bersama klien.
  6. Pertanyaan terbuka (open question). Pertanyaan terbuka dapat memberikan ruang bagi konselor untuk memunculkan pertanyaan baru dari klien. Pertanyaan terbuka tidak memungkinkan untuk adanya tanggapan secara efekti dengan jawaban ya atau tidak, melainkan membutuhkan penjelasan atau percakapan yang lebih mendalam.
  7. Pertanyaan tertutup (closed questions). Tidak selamanya konselor menggunakan pertanyaan terbuka, pertanyaan tertutup juga dapat digunakan oleh konselor untuk mengumpulkan informasi, memperjelas sesuatu, atau menghentikan pembahasan klien yang sudah mulai menyimpang jauh dari pembahasannya.
  8. Dorongan minimal (minimal encouragment). Merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh konselor untuk mempertahankan konselor agar tetap terbuka dan terlibat dalam pembicaraan. Adapun yang dimaksud dengan dorongan minimal yaitu respons singkat seperti oh, ya, lanjutkan, kemudian, selanjutnya, dll.
  9. Interpretasi. Interpretasi merupakan upaya konselor dalam mengulas perasaan, perilaku, dan pemikiran klien dengan merujuk pada suatu teori. Dalam hal ini, sifat subjektif seorang konselor tentu tidak termasuk dalam interpretasi. Interpretasi bertujuan untuk memberikan suatu pandangan atau rujukan kepada klien, agar klien dapat memahami pandangan atau rujukan tersebut.
  10. Mengarahkan (directing). Mengarahkan merupakan kemampuan konselor dalam mengatakan kepada klien untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Proses mengarahkan misalnya dapat dilakukan dengan menyuruh klien untuk bermain suatu peran bersama konselor, atau mengkhayalkan sesuatu.
  11. Menyimpulkan sementara (summarizing). Agar pembicaraan dapat maju secara bertahap, serta memperjelas arah pembicaraan, maka perlu bagi konselor dan klien untuk menyimpulkan sementara terkait pembicaraan yang sudah dibahas dalam periode waktu tertentu. Adapun tujuan dari menyimpulkan sementara yaitu agar klien dapat mengambil kilas-balik terhadap  apa  yang telah dibicarakan, menyimpulkan hasil pembicaraan, meningkatkan kualitas pembahasan, serta memperjelas fokus pada kegiatan konseling.
  12. Memimpin (leading). Memimpin diperlukan oleh konselor agar pembicaraan dalam proses konseling tidak menyimpang dan melantur. Dalam teknik memimpin, konselor harus mampu memengaruhi, menyambut, menggerakkan, memacu, mendorong, mengarahkan, meminta, membimbing, melarang, bahkan menolak (jika diperlukan),  untuk dapat mencapai tujuan dalam konseling.
  13. Fokus. Seorang konselor harus fokus kepada keadaan yang  sedang dihadapi oleh klien, agar mampu membidik apa sebenarnya masalah mendasar yang dialami oleh klien. Karena tiap masalah yang dialami klien sebagian besar bercabang, jika konselor tidak fokus, maka konselor akan kesulitan dalam memahami kondisi klien yang sebenarnya.
  14. Konfrontasi. Konfrontasi muncul ketika perkataan klien tidak sejalan dengan komunikasi nonverbal yang ditunjukkan.[4] Konfrontasi dapat digunakan untuk melihat sejauh mana kejanggalan antara komunikasi verbal dan nonverbal klien pada saat ia mengungkapkan sesuatu.
  15. Menjernihkan. Menjernihkan merupakan keahlian konselor dalam menjernihkan ucapan atau ekspresi klien yang kurang jelas atau samar-samar.
  16. Memudahkan. Merupakan kemampuan konselor dalam membuka komunikasi agar klien dapat mengungkapkan perasaannya dengan mudah, sehingga komunikasi dalam proses konseling berjalan dengan lancar.
  17. Diam. Diam juga diperlukan dalam proses konseling, diam dapat dilakukan sekitar 5-10 detik. Proses diam sejenak dapat memberikan waktu untuk klien berbicara, dan menenangkan dirinya. Akan tetapi, diam di sini bukan berarti tidak menyimak, seorang konselor  harus tetap memperhatikan dan berusaha memahami kondisi klien pada saat itu.
  18. Mengambil inisiatif. Mengambil inisiatif dapat dilakukan untuk memberikan kesan hidup dalam proses konseling. Inisiatif ini dapat dilakukan konselor dengan memulai percakapan dengan mengajak klien untuk bercerita sesuatu hal yang menarik, sehingga dapat memancing klien untuk mulai bercerita.
  19. Memberi nasihat. Tidak hanya memberikan bimbingan, seorang konselor juga wajib memberi nasihat jika klien memintanya. Pun jika tidak diminta, seorang konselor juga harus bisa mempertimbangkan apakah klien tersebut membutuhkan nasihat atau tidak.
  20. Memberi informasi. Penawaran untuk bimbingan merupakan salah satu contoh pemberian informasi. Jika klien meminta, konselor bisa memberikan informasi terkait apa yang diminta oleh klien, pun apabila konselor merasa tidak memiliki jasa tersebut, konselor dapat menyarankan klien ke  penyedia jasa yang bisa dihubungi.
  21. Merencanakan. Dalam menuju sesi akhir proses konseling, konselor membantu klien untuk merencanakan terkait apa yang klien harus lakukan agar produktif dan memberi kemajuan atas dirinya.
  22. Menyimpulkan. Dalam sesi akhir proses konseling, konselor membantu klien untuk dapat menyimpulkan hasil dari pembicaraan yang meliputi  bagaimana keadaan perasaan klien setelah konseling, serta membantu memantapkan rencana yang dibuat klien, dan yang terakhir yaitu pemberian kesimpulan dari konselor.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Willis, Sofyan S. (April, 2017). Konseling Individual, Teori dan Praktek. Bandung: ALFABETA. hlm. 157, 172. ISBN 978-979-8433-57-3. 
  2. ^ a b Abdurrahman, Ike Nurul Wahdanah, Lidya Saputri (Desember 2022). "Teknik Konseling yang Digunakan Guru Bimbingan danKonseling untuk Mengatasi Permasalahan Siswa di SMA Negeri 1 Stabat". GUIDANCE: Jurnal Bimbingan dan Konseling. 19 (2): 151–169. 
  3. ^ Yunita, Yunita (2021-12-02). "Pentingnya Teknik Empati Dalam Proses Konseling Individual". JURNAL PENELITIAN PENDIDIKAN, PSIKOLOGI DAN KESEHATAN (J-P3K). 2 (3): 310–315. ISSN 2721-5385. 
  4. ^ Kustianah Sunarty, Alimuddin Mahmud (2022). Mengenal Teknik-Teknik Bimbingan dan Konseling (PDF). Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar. hlm. 27. ISBN 978-602-9075-33-5.