Perantaraan para kudus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
"Sambil kita merayakannya dengan pertemuan meriah ulang tahun orang besar ini, pembuka jalan Tuhan, Yohanes yang terberkati, marilah kita meminta bantuan doa-doanya. Karena ia adalah teman Sang Mempelai Laki-Laki, kamu lihat, ia juga bisa mendapatkan bagi kita agar kita bisa menjadi milik Sang Mempelai Laki-Laki, agar kita bisa dianggap pantas untuk mendapat rahmat-Nya." – St. Agustinus.[1]

Perantaraan para kudus (Inggris: intercession of saints), disebut juga pengantaraan orang kudus atau syafaat orang suci, adalah suatu doktrin yang dipegang oleh Gereja Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, dan Katolik Roma. Praktik berdoa melalui perantaraan orang-orang kudus (santo/santa) ditemukan dalam tulisan-tulisan Kristen sejak abad ke-3.[2][3] Pengakuan Iman Rasuli (Syahadat Para Rasul) dari abad ke-4 menyatakan keyakinan akan persekutuan para kudus, yang diinterpretasikan gereja-gereja Kristen tertentu sebagai dasar dari perantaraan para kudus. Dalam Yudaisme juga dimungkinkan adanya permohonan doa melalui orang-orang kudus.

Dasar alkitabiah[sunting | sunting sumber]

Para pendukung dokrin ini mengatakan bahwa perumpamaan Yesus mengenai Orang Kaya dan Lazarus dalam Lukas 16:19–31 mengindikasikan kemampuan orang yang telah meninggal dunia untuk berdoa bagi orang yang masih hidup di bumi. Atas dasar pengantaraan Kristus bagi orang-orang yang percaya, yang berada di Sebelah kanan Allah (Roma 8:34, Ibrani 7:25), dikemukakan adanya perluasan bahwa orang lain yang telah wafat dalam Kristus dapat menjadi perantara atau syafaat dari pemohon (Yohanes 11:25, Roma 8:38–39).

Thomas Aquinas mengutip Wahyu 8:4: "Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah".[4]

Baik mereka yang mendukung maupun menentang syafaat dari orang-orang kudus mengutip Ayub 5:1.

Pandangan Katolik dan Ortodoks[sunting | sunting sumber]

Doktrin Gereja Katolik mendukung doa syafaat melalui orang-orang kudus. Doa perantaraan tersebut juga berperan penting dalam Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Timur. Juga sebagian kalangan Anglo-Katolik percaya akan perantaraan para kudus. Praktik ini merupakan suatu penerapan dari doktrin Katolik mengenai Persekutuan Para Kudus. Dipahami bahwa beberapa landasan awal akan hal ini merupakan keyakinan bahwa para martir meninggalkan dunia ini secara seketika menuju hadirat Allah, serta dapat membantu orang-orang lain memperoleh rahmat dan berkat. Landasan lain yang memperkuat gagasan yang sama itu berasal dari kultus para malaikat, yang berasal dari zaman pra-Kristen dan dipegang dengan sungguh-sungguh oleh umat beriman setelah Zaman Apostolik.[5]

Menurut St. Hieronimus, "Jika para Rasul dan Martir, sementara masih di dalam tubuhnya masing-masing, dapat berdoa untuk orang-orang lain pada saat mereka sendiri masih harus mencemaskan diri mereka, betapa banyak yang dapat dimenangkan lagi setelah pemahkotaan, kemenangan, dan kejayaan mereka!"[4]

Doktrin Katolik mengenai perantaraan dan seruan (invocation) dikukuhkan dalam Konsili Trente, yang mengajarkan bahwa "... orang-orang kudus yang memerintah bersama-sama dengan Kristus mempersembahkan doa-doa mereka sendiri kepada Allah bagi manusia. Adalah baik dan berguna memohon dengan seruan melalui mereka, serta untuk meminta pertolongan dan bantuan doa-doa mereka demi memperoleh manfaat dari Allah, melalui Putra-Nya Yesus Kristus Tuhan kita, yang adalah Penebus dan Juruselamat kita."[4]

Doa perantaraan melalui orang-orang suci yang belum dikanonisasi juga dipraktikkan, dan bukti adanya mukjizat-mukjizat sebagai hasil dari doa tersebut sangat lazim dijumpai selama proses resmi beatifikasi dan kanonisasi.

Pandangan Protestan modern[sunting | sunting sumber]

Terlepas dari pandangan-pandangan yang dikemukakan di bawah ini mengenai kelompok-kelompok Protestan awal tertentu, beberapa kalangan Protestan modern dengan tegas menolak segala bentuk syafaat kesucian, yang mereka yakini bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab tertentu, yaitu 1 Timotius 2:1–5 dan Ulangan 18:10-11. Mereka juga mengatakan bahwa tidak terdapat contoh dalam Alkitab mengenai orang yang meminta syafaat dari mereka yang telah wafat—Yesus Kristus menjadi satu-satunya pengecualian karena Ia hidup dan bangkit kembali serta Ia adalah insani sekaligus ilahi.[butuh rujukan] Perdebatan yang masih ada hingga saat ini bergantung pada interpretasi masing-masing mengenai Alkitab, konteksnya, dll.

Pandangan Anglikan dan Metodis[sunting | sunting sumber]

Terdapat keragaman pandangan Protestan awal mengenai orang-orang kudus (santo/santa), penghormatan pada mereka, dan pengantaraan mereka, yang jelas merupakan suatu fungsi dari interpretasi independen masing-masing kelompok atas kitab suci, dan, dalam beberapa kasus, interpretasi independen setiap kelompok atas kitab apa saja dalam Alkitab yang membentuk kitab suci.

Artikel keimanan Anglikan yang pertama, Sepuluh Artikel (1536), membela praktik berdoa melalui orang-orang kudus,[6] sementara Buku Raja, pernyataan resmi agama yang dibuat pada tahun 1543, mendedikasikan satu bagian khusus mengenai arti penting doa Ave Maria ("Salam Maria").[7]

Namun, 39 Artikel (1563), serta Artikel Agama dari Metodis (1784), mengutuk penyeruan melalui orang-orang kudus sebagai "suatu hal naif, sia-sia diciptakan, dan berpijak tanpa jaminan dari Kitab Suci, melainkan bertentangan dengan Firman Allah" (Artikel XXII – Anglikan; Artikel XIV – Metodis). Bagaimanapun, teolog-teolog dalam Komuni Anglikan membuat suatu pembedaan jelas antara doktrin "Roma" mengenai seruan melalui orang-orang kudus dan apa yang mereka pandang sebagai doktrin "Patristik" mengenai perantaraan melalui orang-orang kudus, dengan mengizinkan yang terakhir disebutkan dan melarang yang pertama disebutkan.[8] Uskup Anglikan William Forbes menyebut praktik Anglikan tersebut dengan istilah advokasi para kudus, yang artinya "meminta orang-orang kudus untuk berdoa dengan mereka dan untuk kepentingan mereka, bukan berdoa kepada [orang-orang kudus]."[9]

Pandangan Lutheran[sunting | sunting sumber]

Keyakinan Lutheran tradisional memandang bahwa orang-orang kudus berdoa bagi Gereja secara umum,[10] dipandang sebagai teladan lanjutan sebab tidak cukup sebagai mediator penebusan.[11] Martin Luther, pendiri Lutheranisme, menyetujui penghormatan kepada orang-orang kudus[12] dengan mengatakan bahwa mereka dihormati dalam tiga cara: pertama dengan berterima kasih kepada Allah atas teladan-teladan belas kasih-Nya[butuh rujukan], kedua dengan menggunakan para kudus sebagai teladan untuk memperkuat iman, dan ketiga dengan mencontoh iman maupun kebajikan-kebajikan mereka yang lain.[13][14]

Paralel dalam agama lainnya[sunting | sunting sumber]

Yudaisme[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa bukti adanya keyakinan Yahudi seputar perantaraan atau syafaat, dalam bentuk berkat paternal yang diturunkan Abraham kepada anak-anaknya, dan Kitab 2 Makabe, yang menuliskan kalau Yudas Makabe menyaksikan Yeremia dan Onias yang telah wafat memberikan berkat bagi tentara Yahudi (2 Mak. 15). Dalam Yudaisme kuno, juga populer praktik berdoa demi syafaat dari Mikhael kendati terdapat larangan kerabian terhadap permohonan kepada para malaikat sebagai perantara antara Allah dan umat-Nya. Terdapat dua doa untuk memohon Mikael sebagai pangeran belas kasih untuk menjadi pengantara bagi Israel: satu doa ditulis oleh Eliezer ha-Kalir, dan doa lainnya ditulis oleh Judah ben Samuel he-Hasid.[15] Mereka yang menentang praktik ini merasa bahwa doa hanya dapat dipersembahkan kepada Allah saja.

Pada zaman modern, salah satu divisi terbesar dalam teologi Yahudi (hashkafa) adalah mengenai isu apakah seseorang dapat memohon bantuan seorang tzadik –seorang individu yang sangat dapat dibenarkan. Perdebatan utamanya adalah seputar praktik memohon seorang tzadik yang telah meninggal dunia untuk melakukan syafaat di hadapan Yang Mahakuasa. Praktik ini umum terjadi di kalangan Yahudi Hasidut,[16] namun juga ditemukan dalam beragam tingkatan tertentu di antara komunitas Haredi pada umumnya. Penentangan terkuat utamanya ditemukan di antara aspek-aspek Yudaisme Ortodoks Modern, Dor Daim, Talmide haRambam, dan di antara aspek-aspek komunitas Haredi Lituania. Mereka yang menentang praktik ini biasanya menyebut alasan pemberhalaan, karena Hukum Yahudi secara tegas melarang memanfaatkan suatu mediator (melitz) atau agen (sarsur) antara seseorang dengan Yang Mahakuasa.

Pandangan kelompok-kelompok Yahudi yang menentang pemanfaatan para pendoa syafaat biasanya lebih lunak dalam hal memohon kepada Yang Mahakuasa saja jika sekadar karena "pahala" atau "jasa" (tzechut) dari seorang tzadik.

Kaum Yahudi yang mendukung pemanfaatan para pendoa syafaat mengklaim bahwa permohonan mereka melalui tzadik bukanlah doa ataupun ibadah. Perbedaan pendapat di antara kelompok-kelompok tersebut pada dasarnya lebih kepada apa saja yang merupakan doa, ibadah, mediator (melitz), dan agen (sarsur).

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ On the Birthday of Saint John the Baptist, Sermon 293B:5:1. “Against superstitious midsummer rituals.” Augustine’s Works, Sermons on the Saints, (1994), Sermons 273–305, John E. Rotelle, ed., Edmund Hill, Trans., ISBN 1-56548-060-0 ISBN 978-1-56548-060-5 p. 165. [1] Editor's comment (ibid., note 16, p. 167): “So does ‘his grace’ mean John’s grace? Clearly not in the ordinary understanding of such a phrase, as though John were the source of the grace. But in the sense that John’s grace is the grace of being the friend of the bridegroom, and that that is the grace we are asking him to obtain for us too, yes, it does mean John’s grace.”[2]
  2. ^ "On the Intercession and Invocation of the Saints". orthodoxinfo.com. 
  3. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-19. Diakses tanggal 2016-10-07. 
  4. ^ a b c "CATHOLIC ENCYCLOPEDIA: Intercession". newadvent.org. 
  5. ^ "CATHOLIC ENCYCLOPEDIA: Devotion to the Blessed Virgin Mary". newadvent.org. 
  6. ^ Schofield, John (2006). Philip Melanchthon and the English Reformation, Ashgate Publishing. p. 68. ISBN 978-0-7546-5567-1
  7. ^ A Necessary Doctrine and Erudition for Any Christian Man Set forth by the King’s Majesty of England, &c.. (1543)
  8. ^ Sokol, David F. (2001). The Anglican Prayer Life: Ceum Na Corach', the True Way. hlm. 14. ISBN 978-0-595-19171-0. In 1556 Article XXII in part read... "The Romish doctrine concerning...invocation of saints, is a fond thing vainly invented, and grounded upon no warranty of Scripture, but rather repugnant to the word of God." The term "doctrina Romanensium" or Romish doctrine was substituted for the "doctrina scholasticorum" of the doctrine of the school authors in 1563 to bring the condemnation up to date subsequent to the Council of Trent. As E.J. Bicknell writes, invocation may mean either of two things: the simple request to a saint for his prayers (intercession), 'ora pro nobis,' or a request for some particular benefit. In medieval times the saints had come to be regarded as themselves the authors of blessings. Such a view was condemned but the former was affirmed. 
  9. ^ Mitchican, Jonathan A. (26 August 2016). "The Non-Competitive Mary – Working the Beads" (dalam bahasa English). Working the Beads. Diakses tanggal 27 August 2016. The Scottish priest William Forbes (1558–1634) argued that Anglicans could call upon the saints without running afoul of the Articles by simply making it clear, in their minds if nowhere else, that they are asking for the saints to pray with them and on their behalf, not praying to them. Forbes styled this advocation as opposed to invocation. 
  10. ^ Apology of the Augsburg Confession XXI 9
  11. ^ Apology of the Augsburg Confession XXI 14–30
  12. ^ Augsburg Confession XXI 1
  13. ^ Apology of the Augsburg Confession XXI 4–7
  14. ^ "Lutheran Church – Missouri Synod – Christian Cyclopedia". lcms.org. 
  15. ^ Baruch Apoc. Ethiopic, ix. 5
  16. ^ "Is it okay to ask a deceased tzaddik to pray on my behalf?" at Chabad.org

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Templat:Orang kudus