Kode Etik Kedokteran Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) merupakan pedoman bagi paraprofessional di bidang masing-masing sebagai acuan dalam melaksakan praktek atau melakukan tugasnya di bidang-bidang tertentu. Kode etik profesi ini juga merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oelh suatu kelompok masyarakat tertentu. Pada umumnya, kode etik ini termasuk ke dalam norma sosial, namun apabila terdapat kode etik yang memiliki sanksi berat bagi pelanggaranya maka termasuk juga kepada norma hukum. Salah satu profesi yang memiliki kode etik dan termasuk profesi yang berakibat hukum adalah profesi dokter.

Dokter merupakan salah satu profesi di bidang Kesehatan yang menjadi kontak pertama pasien (orang sakit) dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah Kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, oragnologi, golongan usia, dan jenis kelamin. Dikutip dari FKKMK UGM bahwa tugas dokter tidak hanya mengobati tetapi bertugas sebagai advokat di bidang Kesehatan bagi pasien, memberikan edukasi, menjelaskan dengan detil apa saja yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien sampai pasien paham.

Kode Etik Profesi Dokter[sunting | sunting sumber]

Etika merupakan usaha mengadakan refleksi yang tertib mengenai gerakan atau instuisi moral dan pilihan moral yang seseorang putuskan. Etika kedokteran dapat diartikan sebagai kewajiban berdasarkan akhlak/moral yang menentukan praktek kedokteran. Di Indonesia tersendiri memiliki kode etik profesi dokter atau biasa disebut dengan KODEKI yang disusun bersama pemerintah dengan dasar hukum Pasal 8 Huruf f Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Profesi kedokteran mempunyai sejarah mengenai Kode Etik yang bermula sedikitnya kira-kira 2000 SM. Dalam Kode Etik oleh Hammurabi, telah disusun bermacam-macam system/peraturan mengenai para dokter. Terdapat pula beberapa bagian mengenai norma-norma tinggi moral/akhlak dan tanggung jawab yang diharapkan harus dimiliki oleh para dokter serta petunjuk-petunjuk mengenai hubungan antar dokter dengan pasien; dan beberapa masalah lain. Etika Kedokteran mempuyai tiga azaz pokok, yaitu:

  • Otonomi
  1. Hal ini membutuhkan orang-orang yang kompeten, dipengaruhi oleh kehendak-kehendak dan keinginannya sendiri, dan kemampuan (kompetensi) ini dianggap dimiliki oleh seorang remaja maupun orang dewasa, yang memliki pengertian yang adekuat pada tiap-tiap kasus yang dipersoalkan dan memiliki kemampuan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan yang secara otonomi atau secara mandiri telah diambil.
  2. Melindungi mereka yang lemah, berarti bahwa kita dituntut untuk memberikan perlindungan dalam pemeliharaan, perwalian, pengasuhan kepada anak-anak, para remaja, dan orang dewasa yang berada dalam kondisi yang lemah dan tidak mempunyai kemampuan otonomi (mandiri).
  • Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik

Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada negative; Primum Non Nocere (janganlah berbuat merugikan/salah). Hendaknya kita bernada positif dengan berbuat baik, dan apabila perlu kita mulai dengan kegiatan-kegiatan yang merupakan awal kesejahteraan para individu dan masyarakat.

  • Keadilan

Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan perlakuan antar manusia, umpamanya mulai mengusahakan peningkatan keadilan terhadap si individu dan masyarakat dimana mungkin terjadi risiko dan imbalan yang tidak wajar dan bahwa segolongan manusia janganlah dikorbankan untuk kepentingan golongan lain.

Kode Etik Kedokteran Indonesia didasarkan pada asas-asas hidup bermasyarakat yaitu Pancasila yan telah sama-sama diakui oleh bangsa Indonesia sebagai falsafah hidup bangsa. Keluhuran dan kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 sifat dasar yang ditunjukkan oleh setiap dokter, yaitu:

  1. Sifat Ketuhanan
  2. Keluhuran Budi
  3. Kemurnian niat
  4. Kesungguhan Kerja
  5. Kerendahan hati
  6. Integritas ilmiah dan sosial.

Pelanggaran Kode Etik Profesi Dokter[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa penyebab ternjadi seorag dokter melanggar kode etik profesi ketika menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter, yaitu sebagai berikut:

  1. Pengaruh sifat kekeluargaan
  2. Pengaruh jabatan
  3. Pengaruh masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia sehingga menyebabkan pelaku pelanggaran kode etik profesi tidak merasa khawatir jika melakukan pelanggaran.
  4. Tidak menjalankan kontrol dan pengawasan dari masyarakat.
  5. Bisa datang daripada organisasi profesi yang kurang membuka ruang untuk menerima keluhan dan masukan dari masyarakat.
  6. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi karean buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak profesi itu sendiri.
  7. Masih ditemukan kurangnya bentuk budaya dan kesadaran luhur dari para pengemban profesi untuk menjaga martabat profesinya.

Mengutip dari website resmi IDI Jakarta Selatan[1], setidaknya ada 28 bentuk pelanggaran kode ertik profesi dokter yaitu:

  1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten
  2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi sesuai
  3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
  4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.
  5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien.
  6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
  7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien.
  8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
  9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
  10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
  11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
  12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya.
  13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
  14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah.
  15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
  16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
  17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
  18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.
  19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati.
  20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
  21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien, di tempat praktik.
  22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
  23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat Kesehatan.
  24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
  25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya.
  26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
  27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
  28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.

Sanksi Pelanggar Kode Etik Profesi Dokter[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan pedoman organisasi dan tata laksana kerja MKEK IDI mengatur, jika belum terbentuk MKDKIdan MKDKI-P(provinsi), maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh dokter dapat diperiksa di MKEK IDI pada masing-masing provinsi di indonesia. Laksana kerja MKEK IDI yang menerangkan MKEK merupakan satu-satunya lembaga penegak etika kedokteran sejak berdirinya IDI. MKEK dalam peran kesejarahannya mengembang juga sebagai lembaga penegak disiplin kedokteran yang kini dipegang oleh MKDKI.

Tugas dan wewenang MKEK[sunting | sunting sumber]

Terdapat divisi khusus yang berwenang dalam memberikan sanksi kepada dokter yang melanggar oke etik profesi dokter yaitu Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) yang memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

  1. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan yang ditetapkan muktamar.
  2. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisiluhur kedokteran.
  3. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
  4. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus besar, pengurus wilayah dan pengurus cabang, serta kepada Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia.
  5. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.
  6. Bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarah cabang.

Kedudukan MKEK[sunting | sunting sumber]

MKEK adalah badan otonom IDI yang bertanggung jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran

  1. Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional dan strategis, MKEK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.
  2. MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang.
  3. MKEK di tingkat cabang dibentuk apabila dianggap perlu atas pertimbangan dan persetujuan dari MKEK wilayah.
  4. MKEK bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarah cabang sesuai dengan tingkat kepengurusan
  5. Masa jabatan MKEK sama dengan PB IDI
  6. Kepengurusan MKEK sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota
  7. MKEK wilayah dan cabang mengadakan koordinasi dengan pengurus wilayah dan pengurus cabang, sesuai dengan tingkat kepengurusan.

Sanksi pelanggaran oleh MKEK[sunting | sunting sumber]

Secara umum pemberian sanksi kepada dokter yang melanggar kode etik profesi kedokteran dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

  1. Tahap pertama adalah merumuskan tujuan sanksi yang diberikan. Sanksi harus bertujuan mendidik pelaku dengan nilai yang sesuai,mempertimbangkan kondisi pelaku dan masyarakat secara luas. Pemberian sanksi juga harus disertai penjelasan dan penegasan agar pelaku mengerti bahwa terdapat peraturan yang harus ditaati. Sanksi juga harus diberikan secara spesifik dan menghindari pertimbangan tidak relevan yang dapat mengalihkan perhatian dari pelanggaran etik itu sendiri (non-issue).
  2. Tahap kedua adalah menentukan berat ringannya sanksi berdasarkan beberapa pertimbangan: jenis pelanggaran, berat ringannya pelanggaran berdasarkan konsensus atau ketentuan yang berlaku, riwayat pelanggaran,dan faktor-faktor penyerta lain. Selain itu harus dilakukan upaya menyeimbangkan antara sanksi aktif dan pasif. Jenis pelanggaran yang dimaksud adalah pemberian sanksi dengan penjelasan dan penegasan terhadap tindakan yang dibuat, bukan terhadap suatu klausul peraturan semata, misalnya “Anda melanggar karena Anda mencuri” bukan sekedar mengatakan “Anda melanggar peraturan nomor 5” tanpa menjelaskan lebih rinci isi peraturan tersebut. Hal itu bertujuan agar pelaku mengerti jenis pelanggaran dan dampak yang mungkin timbul, bukan hanya menyebutkan klausul/peraturan pelanggaran yang terjadi. Berat ringannya pelanggaran ditentukan berdasarkan konsensus atau keputusan pihak berwenang dengan mempertimbangkan berbagai kondisi. Keributan yang ditimbulkan seseorang di perpustakaan memiliki sanksi berbeda dibandingkan dengan keributan di kelas. Bermain telepon genggam pada saat pemeriksaan imigrasi memiliki dampak berbeda dibandingkan dengan bermain telepon genggam di bioskop. Riwayat pelanggaran berkaitan dengan jumlah pelanggaran sebelumnya yang pernah dilakukan pelaku, baik pelanggaran serupa maupun tidak. Faktor penyertayang perlu dipertimbangkan misalnya niat, keadaan individu pada saat kejadian, tingkat kemudahan kerjasama pelaku pada proses peradilan, pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang. Sanksi juga perlu diberikan dengan mempertimbangkan kombinasi sanksi pasif (berupa pembekuan hak) maupun aktif (berupa pemberian kewajiban) yang dapat memberikan dampak positif terhadap pelaku dan masyarakat sekitarnya.
  3. Tahap ketiga adalah pelaksanaan sanksi yang konkrit dan terawasi. Sanksi yang telah diberikan harus dievaluasi bila terdapat pengulangan pelanggaran atau hambatan ketika sanksi sedang dijalankan.

Dalam ORTALA MKEK, pemberian sanksi terhadap dokter terhukum/pelanggar etik dapat berupa penasihatan, peringatan lisan, peringatan tertulis, pembinaan perilaku, pendidikan ulang (re-schooling), hingga pemecatan keanggotaan IDI, baik secara sementara atau pun permanen. Pada umumnya sanksi etik tersebut bersifat pembinaan, kecuali pemecatan keanggotaan yang bersifat permanen atau pencabutan keanggotaan seumur hidup. Mekanisme pemberian sanksi oleh MKEK diawali dari masuknya pengaduan yang sah, dilanjutkan dengan proses penelaahan kasus yang diadukan. Pada akhir penelaahan, Ketua MKEK menetapkan kelayakan kasus untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa yang akan melakukan sidang kemahkamahan hingga tercapai keputusan MKEK. Bila terbukti terdapat bukti pelanggaran etik, maka majelis akan menetapkan sanksi sesuai dengan berat ringannya kesalahan dokter teradu. Pelaksanaan sangsi dilakukan oleh Divisi Pembinaan Etika Profesi MKEK untuk dan atas nama pengurus IDI setingkat.

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi menyatakan dengan tegas, bahwa dokter dilarang keras melakukan pelanggaran disiplin profesional dokter. Sedianya ada 28 bentuk pelanggaran disiplin dokter yang dimuat dalam peraturan KKI No 4 Tahun 2011 yang harus dihindari seorang dokter. Secara garis besar pelanggaran kedisplinan itu menyangkut pelaksanaan praktik kedokteran yang tak kompeten, pengabaian pada tugas dan tanggung jawab profesional terhadap pasien serta berperilaku tercela yang merusak martabak dan kehormatan profesi kedokteran.

MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi (Pasal 67 UU Praktik Kedokteran). Adapun keputusan MKDKI itu sifatnya mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI yang isinya dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin itu dapat berupa (Pasal 69 UU Praktik Kedokteran):

  1. Pemberian peringatan tertulis;
  2. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau;
  3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

SANKSI MKEK

Pasal 29 (1)

  • Kategori 1, bersifat murni Pembinaan
  • Kategori 2, bersifat Penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan,
  • Kategori 3, bersifat Penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan sementara,
  • Kategori 4 bersifat pemberhentian keanggotaan tetap

Pasal 29 (2)

  • Pelanggaran etik ringan mendapatkan minimal satu jenis sanksi kategori 1
  • Pelanggaran etik sedang mendapatkan satu jenis sanksi kategori 2 dan kategori 1
  • Pelanggaran etik berat mendapatkan minimal satu jenis sanksi kategori 1, satu jenis kategori 2, dan satu jenis sanksi kategori 3
  • Pelanggaran etik sangat berat mendapatkan sanksi kategori 4 berupa pemberhentian keanggotaan tetap

Hambatan Pelaksanaan Kode Etik Profesi Dokter[sunting | sunting sumber]

Di dalam pelaksanaan kode etik, tidak semua kode etik dapat dijalankan dengan baik oleh sebagian professional sebagaimana mestinya. Dapat dilihat di lapangan, bahwa masih terdapat professional yang mengabaikan atau melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan di dalam kode etik, salah satunya kode etik profesi kedokteran ini. Dalam hal ini penyusun menemukan faktor apa saja yang menjadi hamabatan hal tersebut terjadi, yaitu sebagai berikut:

  • Terdapat pengaruh sifat kekeluargaan

Salah satu ciri kekeluargaan itu memberi perlakuan dan penghargaan yang sama terhadap anggota keluarga dan ini dipandang adil. Perlakuan terhadap orang bukan keluarga lain lagi. hal ini berpengaruh terhadap perilaku profesional hukum yang terikat pada kode etik profesi, yang seharusnya memberi perlakuan sama terhadap klien. Semisal di dalam kode etik profesi dokterterdapat dokter yang memiliki pasien keluarganya sendiri, ia memperlakukan pasien tersebut dengan sangat telaten dan sangat membantu, akan tetapi ketika ia memiliki pasien orang lain ia memberikan pelayanan yang apa adanya tidak sama dengan pasien ketika pasien tersebut adalah keluarganya. Padahal, di dalam kode etik semua sama dalm hal ini kode etik profesi kedokteran semua pasien itu sama dan berhak diberlakukan tapan membeda-bedakan dari segi apapun.

  • Pengaruh jabatan

Salah satu ciri jabatan adalah bawahan menghormati dan taat pada atasan dan ini adalah ketentuan undang-undang kepegawaian. Fungsi eksekutif terpisah dengan fungsi yudikatif. Seharusnya masalah jabatan dipisahkan dengan masalah profesi dan ini adalah adil.

  • Pengaruh konsumerisme

Gencarnya perusahaan-perusahaan mempromosikan produk mereka melalui iklan media massa akan cukup berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan yang tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima oleh profesional. hal ini mendorong profesional berusaha memperoleh penghasilan yang lebih besar melalui jalan pintas atau terobosan profesional, yaitu dengan mencari imbalan jasa dari pihak yang dilayaninya. Salah satunya di dalam profesi kedokteran yaitu adanya promosi terkait metode penyembuhan suatu penyakit yang belum teruji secara klinis terkait keamanannya untuk diaplikasikan kepada pasien, padahal hal tersebut sangatlah tidak sesuai dengan kode etik profesi dokter.

  • Pengaruh lemah iman

Salah satu syarat menjadi profesional itu adalah taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaqwaan ini adalah dasar moral manusia. Jika manusia temperately iman dengan taqwa, maka di dalam diri akan tertanam nilai moral yang menjadi rem untuk berbuat buruk. Dengan taqwa manusia makin sadar bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan keburukan. Sesungguhnya Tuhan itu Maha Adil. Dengan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa profesional memiliki benteng moral yang kuat, tidak mudah tergoda dan tergiur dengan bermacam ragam bentuk materi disekitarnya. Dengan iman yang kuat kebutuhan akan terpenuhi secara wajar dan itulah kebahagiaan sejatinya. Seperti halnya dalam kasus pelanggaran kode etik profesi dokter yaitu adanya oknum-oknum dokter yang dengan sengaja tidak memberikan pelayanan yang seharusnya kepada pasien karena alasan uang, padahal di dalam sumpah dokter itu sudah jelas itu tidak sibenarkan. Padahal ketik adokter pengucap sumpah itu bukanlah sumpah dengan manusia tetapi terhadap tuhannya.

Peran Efektif Kode Etik Profesi Dokter[sunting | sunting sumber]

Kode etik dibuat sedemikian rupa dalam rangka atau memiliki tujuan luhur agar paraprofessional tidak dengan sewenang-wenang dalam melakukan aktifitasnya sebagai seorang professional di bidang tertentu, atau dalam hal ini profesi dokter. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi.

Kode etik profesi dokter ini dapat berjalan dengan baik apabila subjek atau orang-orang yang ada di dalamnya dapat menjalankan kode etik profesi tersebut dengan baik, atau hal ini biasa dikenal dengan istilah man behind the system. Istilah tersebut memiliki makna unsur manusialah yang menentukan segala sesuatu sebagai makhluk hidup dan bukan makhluk mati. Sebaik apapun atauran atau dalam hal ini kode etik profesi dokter, jika orang atau subjek yang menjalankannya tidak sepenuhnya menjalankan dengan baik dan benar maka kode etik atau peraturan tersebut akan terasa percuma. Karena tujuan dari adanya kode etik ini adalah untuk membuat keteraturan dan pembatasan terhadap suatu profesi agar tidak melakukan hal-hal yang semestinya tidak dilakukan.

Berdasarkan analisis penyusun terkait efektifitas dari adanya kode etik profesi dokter sebagai kontrol seorang dokter dalam menjalankan tugasnya adalah efektif selama dokter tersebut menjalankannya dengan baik dan penuh akan kesadaran terhadap kode etik profesinya, karena kembali kepada fungsi dan tujuan dari adanya kode etik tersebut, tidak mungkin dengan adanya kode etik semua hal akan menjadi negatif tentunya kode etik hadir akan memberikan banyak hal-hal positif ketika seorang dokter menjalankan tugasnya. Seorang dokter haruslah mengikuti segala bentuk aturan yang telah ada baik yang ada dalam perjajian kerja ataupun peraturan yang telah ada dalam kode etik profesi dokter serta undang-undang terkait.

Terdapat upaya yang bisa dilakukan dalam meminimalisir terjadinya pelanggaran kode etik profesi dokter yaitu dengan dilakukannya pengawasan secara berkala terhadap dokter yaitu dengan MKEK dan MKDKI melakukan sosialisasi tentang kode etik kedokteran kepada seluruh dokter yang ada karean kode etik ini memang harus diterapkan dengan baik dan benar agar proses dalam menjalankan tugas sebagai dokter dapat sesuai dengan standar yang ditentukan dan tidak melakukan tindakan yang sewenang-wenang.

Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Profesi Dokter[sunting | sunting sumber]

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberhentikan mantan Menteri Kesehatan dokter Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI. Ada Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar purnawiran jenderal bintang dua itu. Hal tersebut disampaikan epidemiolog dari UI Pandu Riono yang mengirimkan salinan surat MKEK kepada Bisnis pada Sabtu (26/3/2022) terkait pemecatan Terawan.

Menurut surat tersebut, dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan telah mengabaikan tiga pasal yakni pasal empat, enam dan delapan belas. Pada pasal empat tertulis bahwa “Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”. Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat serta mencederai sumpah dokter. Sementara itu, kesalahan lain dari Terawan adalah berperilaku yang bertentangan dengan pasal enam. Bunyinya: “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat”.

Kemudian, Terawan pun melanggar pasal 18 tentang menjunjung tinggi kesejawatan yang bunyinya: “setiap dokter wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana dia sendiri ingin diperlakukan”. Pemecatan itu dilakukan berdasarkan hasil keputusan Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh, Jumat (25/3/2022). Ada tiga poin yang dibacakan panitia terkait putusan tersebut. Surat tim khusus MKEK Nomor 0312/PP/MKEK/03/2022 memutuskan menetapkan: pertama, meneruskan hasil keputusan rapat sidang khusus MKEK yang memutuskan pemberhentian permanen sejawat Prof Dr dr Terawan Agus Putranto, SpRad(K) sebagai anggota IDI. Kedua, ketetapan ini, pemberhentian dilaksanakan oleh PB IDI selambat-lambatnya 28 hari kerja. Ketiga, ketetapan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, ujar salah satu panitia yang dikutip dari video Muktamar PB IDI, Sabtu (26/3/2022).