Kesenjangan upah antar gender

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kesenjangan upah antar gender adalah perbedaan rata-rata gaji laki-laki dengan perempuan.

Terdapat dua jenis statistik yang terkait dengan kesenjangan upah antar gender: kesenjangan upah yang "tidak disesuaikan" dan "disesuaikan". Kesenjangan upah yang telah disesuaikan mempertimbangkan perbedaan jam kerja, pekerjaan yang dipilih, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja. Contohnya, seseorang yang mengambil cuti (contohnya cuti hamil) tidak akan memperoleh pendapatan sebanyak mereka yang tidak pernah cuti. Faktor-faktor seperti ini mengurangi pendapatan tahunan perempuan, tetapi setelah semua faktor luar telah dipertimbangkan masih terdapat kesenjangan upah antar gender dalam berbagai situasi (antara 4,8% hingga 7,1% menurut satu penelitian[1]). Kesenjangan upah yang "tidak disesuaikan" jauh lebih tinggi. Contohnya, di Amerika Serikat, rata-rata gaji tahunan perempuan yang "tidak disesuaikan" tercatat sebesar 78% rata-rata gaji laki-laki.[2]

Pada tahun 2015, World Economic Forum telah mengevaluasi kesenjangan upah antar gender di 145 negara. Evaluasi mereka mempertimbangkan partisipasi dan kesempatan ekonomi, tingkat pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan politik.[3] Hasilnya adalah tidak ada satu pun negara di dunia yang telah berhasil menghapuskan kesenjangan upah antar gender, tetapi empat negara-negara Nordik (Islandia, Norwegia, Swedia dan Finlandia) dan Irlandia telah berhasil menutup lebih dari 80% kesenjangan ini. Negara yang menempati peringkat pertama adalah Islandia dengan nilai 0,881. Indonesia sendiri bertengger di peringkat 92 dengan nilai 0,681, sementara negara yang berada di peringkat paling bawah adalah Yemen dengan nilai 0,484.

Melalui data PBB, kesenjangan upah antar gender berawal dari ketidaksetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang terhalang oleh hubungan kekuasaan yang tidak berimbang berasal dari kondisi masa lalu manusia. Sehingga masih dijumpai kemiskinan menyeret perempuan[4].

Perbedaan karakteristik[sunting | sunting sumber]

Karakteristik antara pekerja perempuan dan laki-laki umumnya terjadi karena beberapa perbedaan seperti: pertama, perbedaan karakteristik seperti pekerja perempuan yang berstatus tidak kawin dan tidak berkependudukan sebagai kepala rumah tangga sehingga pekerjaan peremuan lazim dianggap sebagai pelengkap atau sekunder. Kedua, pekerja perempuan memiliki jam kerja yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga penyerapan pekerja perempuan pada berbagai sektor atau bidang pekerjaan tertentu seperti manufaktur lebih menyediakan produktivitas dan upah yang lebih rendah. Hal yang menjadi kelebihan dari perempuan yaitu meskipun dari segi karakteristik rendah tetapi, pekerja perempuan tercatat lebih baik dalam hal pendidikan, keterlibatan dalam sektro formal, jenis pekerjaan dan sebagainya. Oleh karena itu, cara efektif supaya perempuan mendapatkan upah pekerja lebih baik daripada laki-laki dengan cara: berstatus kawin, menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pernah mengikuti pelatihan kerja, memiliki jam kerja yang lebih panjang, terlibat dalam sektor formal dan serikat pekerja, bekerja pada sektor pertanian atau sektor industri manufaktur, dan menjabat sebagai TNI dan Polri atau pekerja kerah putih lainnya[5].

Pendapat lain mengemukakan bahwa perbedaan karakteristik sekitar 41,6 persen terjadi dikarenakan faktor pendapatan antara gender sedangkan 58,4 persen karena tidak teramatinya atau tidak dijelaskan faktor yang melatarbelakangi terjadinya kasus tersebut. Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab adanya perbedaan upah yang diterima oleh laki-laki dan perempuan namun memang betul adanya paling menonjol dari segi modal manusia seperti pendidikan, pelatihan, dan pengalaman kerja yang memang lebih rendah dibandingan laki-laki[6].

Seiring berjalannya waktu[sunting | sunting sumber]

Analisis Doris Weichselbaumer dan Rudolf Winter-Ebmer (2005) terhadap lebih dari 260 penelitian kesenjangan upah antar gender yang telah disesuaikan di lebih dari 60 negara menemukan bahwa perbedaan gaji kasar di seluruh dunia telah turun secara drastis dari 65% hingga 30% dari tahun 1960-an hingga 1990-an. Namun, penurunan ini disebabkan oleh akses pekerjaan yang lebih baik untuk perempuan. Komponen kesenjangan yang tidak dapat dijelaskan masih belum berkurang. Dengan menggunakan spesifikasi mereka sendiri, Weichselbaumer dan Winter-Ebmer lalu menyimpulkan bahwa penurunan kesenjangan upah antar gender setiap tahunnya hanya 0,17 poin, sehingga penghapusan kesenjangan upah antar gender berlangsung lamban.[7] Analisis 41 penelitian yang dilakukan oleh Stanley dan Jarrell juga menemukan tren yang serupa dan tingkat penurunan kesenjangan sebesar 1% per tahun.[8]

Menurut ekonom Alan Manning dari London School of Economics, proses penghapusan kesenjangan upah antar gender telah melambat dan perempuan mungkin akan memperoleh lebih sedikit daripada laki-laki dalam 150 tahun berikutnya akibat diskriminasi dan kebijakan pemerintah yang tidak efektif.[9][10] Penelitian CMI di Britania pada tahun menunjukkan bahwa jika pertumbuhan gaji eksekutif perempuan saat ini tetap konstan, kesenjangan antara gaji eksekutif perempuan dan laki-laki baru akan terhapus pada tahun 2109.[11]

Teori kesenjangan upah gender[sunting | sunting sumber]

Dalam melakukan pengkajian mengenai kesenjangan upah antar gender, ditemukan beberapa teori yang dapat digunakan dalam penelitian salah astunya yaitu teori modal manusia, teori segregasi pekerjaan, dan teori diskriminasi. Teori modal manusia yaitu teori yang menyataka tentang perempuan cenderung memiliki investasi pada modal manusia seperti pendidikan, pelatihan kerja, dan pengalaman kerja yang lebih rendah dibandingkan laki-laki sebagai konsekuensi atas tanggung jawab domestik[12]. Teori segragasi pekerjaan mengemukakan bahwa telah ada gagasan sosial yang dapat menitikberatkan tanggungjawab domestik pada perempuan sehingga menyebabkan rendahnya perkiraan terhadap kemampuan perempuan dalam bekerja sehingga telah terjadi pengelompokkan pekersaan atau segregasi pekerjaan dimana perempuan cenderung terserap di sektor pekerjaan dan posisi dengan upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki[13] . Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan upah juga dapat disebabkan karena perempuan cenderung lebih memilih pekerjaan dengan upah yang lebih rendah supaya memenuhi tanggung jawab domestik. Oleh karena itu, dari pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai teori modal manusia dan teori segregasi pekerjaan berkaitan antara beban pekerjaan dengan tanggungjawab domestik. Sementara teori diskrimansi berhadapan dengan prasangka yang bersumber dari majikan, rekan kerja, atau konsumen yang mana melakukan tindakan negatif berupa persepsi terhadap gender yang dimiliki pekerja.

Menurut negara[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah data World Economic Forum pada tahun 2015:[3]. Melalui data tersebut negara yang memiliki kesenjangan upah yang tinggi yaitu terjadi pada negara Islandia. Namun, melalui berbagai aksi kini Islandia sudah mengeluarkan larangan bagi pemberi kerja untuk membayar upah perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Aksi tersebut sudah dibicarakan pada bulan Januari 2018 yang memicu kegembiraan korektif dan dibicarakan secara masif di media sosial. Kebijakan ekstrem membuat pemerintah Islandia mengubah aturan hukum sejauh 180 derajat menjadi bagian dari persoalan kesetaraan gender yang mana jika pemberi kerja tidak menanggapi gugatan ketimpangan upah dapat dijerat pidana. Menurut data Uni Eropa, Islandia menjadi negara yang mengikutsertakan perempuan ke lapangan pekerjaan yangmana tingkat pertisipasi mencapai lebih dari 80 persen sehingga menempatkan Islandia menjadi negara yang lebih tinggi daripada negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)[14]. Oleh karena itu, negara-negara lain dapat mengadopsi kebijakan atau cara yang dilakukan oleh Islandia dalam melakukan kesetaraan upah antar gender.

Sementara, untuk indeks kesenjangan upah paling jauh dari angka satu didapatkan oleh negara Yemen. Negara ini merupakan negara dengan hampir 21 juta penduduk membutuhkan bantuan kemanusiaan membuat Yemen menjadi negara dengan tingkat kesenjangan upah yang rendah. Hal ini terjadi dikarenakan negara ini masih terjadinya peperangan yang mendorong ke jurang kemiskinan[15]

Peringkat Negara Indeks kesenjangan upah
1 Islandia 0.881
2 Norwegia 0.850
3 Finlandia 0.850
4 Swedia 0.823
5 Irlandia 0.807
6 Rwanda 0.794
7 Filipina 0.790
8 Swiss 0.785
9 Slovenia 0.784
10 Selandia Baru 0.782
11 Jerman 0.779
12 Nikaragua 0.776
13 Belanda 0.776
14 Denmark 0.767
15 Prancis 0.761
16 Namibia 0.760
17 Afrika Selatan 0.759
18 Britania Raya 0.758
19 Belgia 0.753
20 Latvia 0.752
92 Indonesia 0,681
145 Yemen 0,484

Kesenjangan upah di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, kesenjangan upah juga terjadi hal ini dibuktikan melalui data statistikan menunjukan Indonesia berada pada peringkat bawah indeks kesetaraan upah global. Namun menurut ASEAN, Indonesia berada di atas Malaysia dan Myanmar. Sementara berdasarkan data yang dikaji dan diolah melalui Survei Angkatan Kerja Nasional atau Sakernas, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa rata-rata jarak kesenjangan upah bulanan antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan di Indonesia selama satu dekade terakhir yaitu berkisaran 26,4 persen diatas rata-rata dunia[4]. Melalui data International Labor Organization tahun 2013, menyebutkan bahwa kesenjangan upah gender di indonesi masih terjadi dengan selisih hingga 19 persen di tahun 2012. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara Azerbaijan yang sebesar 46 persen[6]. Berikut salah satu contoh daerah yang memiliki kesenjangan upah antar gender di Indonesia yaitu provinsi Kalimantan Timur yang tercatat menduduki peringkat ke-tiga pada tahun 2016 dengan total nilai perebedaan upah sebesar 35,91 persen. Dilanjutkan peirngkat kedua yaitu pada tahun 2017 dengan nilai perbedaan upah sebesar 31,28 persen, dan tahun 2018 menududki upah sebesar 27,39 persen[5]. Melalui angka tersebut yang mengalami naik turunnya nilai pembeda upah melakukan konfirmasi bahwa memang betul adanya terjadi kesenjangan upah di salah atu provinsi Indonesia.

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "An Analysis of Reasons for the Disparity in Wages Between Men and Women" (PDF). Consad.com. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 8, 2013. Diakses tanggal 2014-03-12. 
  2. ^ O'Brien, Sara Ashley (April 14, 2015). "78 cents on the dollar: The facts about the gender wage gap". CNN Money. New York. Diakses tanggal May 28, 2015. 7% wage gap between male and female college grads a year after graduation even controlling for college major, occupation, age, geographical region and hours worked. 
  3. ^ a b Schwab, Klaus, et al. The Global Gender Gap Report 2015. World Economic Forum, 2015, pp. 8-9. http://www3.weforum.org/docs/GGGR2015/cover.pdf. Accessed 29 Sept. 2016.
  4. ^ a b Lubis, Anggi M. "Data Bicara: Kesenjangan upah gender tak juga alami perbaikan, di mana letak masalahnya?". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 
  5. ^ a b Laurensia, Maura Lovieta Jean; Yuliana, Lia (2020). "PENERAPAN METODE DEKOMPOSISI BLINDER-OAXACA UNTUK MENGANALISIS KESENJANGAN UPAH ANTAR GENDER DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2018". Seminar Nasional Official Statistics. 2020 (1): 704–716. doi:10.34123/semnasoffstat.v2020i1.475. ISSN 2722-1970. 
  6. ^ a b Hennigusnia, Hennigusnia (2017-10-04). "KESENJANGAN UPAH ANTAR JENDER DI INDONESIA: GLASS CEILING ATAU STICKY FLOOR? (GENDER WAGE GAP IN INDONESIA: GLASS CEILING OR STICKY FLOOR?)". Jurnal Kependudukan Indonesia. 9 (2): 81–94. doi:10.14203/jki.v9i2.37. ISSN 2502-8537. 
  7. ^ Weichselbaumer, Doris; Winter-Ebmer, Rudolf (2005). "A Meta-Analysis on the International Gender Wage Gap" (PDF). Journal of Economic Surveys. 19 (3): 479–511. doi:10.1111/j.0950-0804.2005.00256.x. 
  8. ^ Stanley, T. D.; Jarrell, Stephen B. (1998). "Gender Wage Discrimination Bias? A Meta-Regression Analysis". The Journal of Human Resources. 33 (4): 962. doi:10.2307/146404. JSTOR 146404. 
  9. ^ Manning, Alan (2006). "The gender pay gap" (PDF). CentrePiece. Centre for Economic Performance. 11 (1): 13–16. 
  10. ^ Woolcock, Nicola. Women will earn the same as men – if they wait 150 years. The Sunday Times, July 28, 2006.
  11. ^ Goodley, Simon (2011-08-31). "Women executives could wait 98 years for equal pay, says report". The Guardian. London. Diakses tanggal August 31, 2011. While the salaries of female executives are increasing faster than those of their male counterparts, it will take until 2109 to close the gap if pay grows at current rates, the Chartered Management Institute reveals. 
  12. ^ Polachek, Solomon William (1981). "Occupational Self-Selection: A Human Capital Approach to Sex Differences in Occupational Structure". The Review of Economics and Statistics. 63 (1): 60–69. doi:10.2307/1924218. ISSN 0034-6535. 
  13. ^ England, Paula (1992). "From Status Attainment to Segregation and Devaluation". Contemporary Sociology: 643–646. ISSN 0094-3061. 
  14. ^ "Kisah Islandia menghapus kesenjangan upah berbasis gender". BBC News Indonesia. Diakses tanggal 2023-03-25. 
  15. ^ "Anggaran untuk Bantuan Pangan di Yaman Hampir Habis". VOA Indonesia. Diakses tanggal 2023-03-25. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]