Kecerdasan buatan di pemerintahan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Contoh penggunaan kecerdasan buatan di pemerintahan

Kecerdasan buatan di pemerintahan mengacu pada kecerdasan buatan yang direncanakan secara aktif oleh lembaga pemerintah ketika memodernisasikan sistem lama mereka. Kecerdasan buatan ini memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh pegawai pemerintah, seperti menjawab pertanyaan warga, mengisi formulir, menerjemahkan dokumen, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan publik.[1]

Perkembangan[sunting | sunting sumber]

Pemerintah berupaya memanfaatkan sistem abad ke-21 dalam kehidupan sehari-hari untuk memungkinkan partisipasi warga negara. Peluang yang timbul untuk dimanfaatkan pemerintah ketika menggunakan kecerdasan buatan adalah dapat mengurangi beban administratif. Ketika kepuasan masyarakat terhadap layanan digital dari pemerintah masih jauh dari harapan, kecerdasan buatan dapat menjadi salah satu cara untuk menjembatani kesenjangan tersebut sekaligus meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemberian layanan.[1]

Berdasarkan temuan studi, kecerdasan buatan berpotensi memberikan pengaruh signifikan terhadap persepsi dan interaksi masyarakat dengan pemerintah. Kecerdasan buatan dapat menjadi alat yang berguna untuk membuat pemerintahan berjalan lebih lancar. Penggunaan kecerdasan buatan dalam layanan masyarakat mungkin menjadi pertanda bagaimana sektor publik dapat menggunakan teknologi digital baru lainnya di masa depan.[2]

Tantangan[sunting | sunting sumber]

Meskipun terdapat peluang yang besar, kecerdasan buatan tidak menyelesaikan permasalahan sistemis di pemerintahan, dan berpotensi menimbulkan permasalahan seputar pemberian layanan, privasi, dan etika jika tidak diterapkan secara bijaksana dan strategis. Pesatnya adopsi teknologi digital, dan kemampuan manusia untuk mampu mengikuti otomatisasi sepanjang waktu menjadi tantangan. Oleh sebab itu kecerdasan buatan perlu berbasis tujuan dan berpusat pada masyarakat, mendapatkan masukan warga, membangun sumber daya yang ada, mempersiapkan data dan berhati-hati dalam menjaga privasi, memitigasi risiko etika dan menghindari pengambilan keputusan dari kecerdasan buatan. Ketika masyarakat semakin nyaman berinteraksi dengan inisiatif modernisasi, penyampaian layanan pemerintah akan mulai menyerupai cara masyarakat menggunakan teknologi dalam kehidupan pribadi.[1][2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Mehr, Hila (August 2017). "Artificial Intelligence for Citizen Services and Government" (PDF). Harvard Ash Center Technology & Democracy Fellow. 
  2. ^ a b Battina, Dhaya Sindhu (February 2017). "RESEARCH ON ARTIFICIAL INTELLIGENCE FOR CITIZEN SERVICES AND GOVERNMENT". SSRN Electronic Journal. 5(2):769-773.