Gugatan permohonan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gugatan permohonan adalah tidak ada sengketa[1]. atau disebut gugatan voluntair dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 bahwa “Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair.” Menjelaskan bahwa yuridiksi voluntair terkait penyelesaian perkara kepada badan-badan peradilan di mana terdapat penyelesaian masalah bersangkutan.[2] Maka dapat dikatakan bahwa gugatan permohonan berupa putusan berbentuk penetapan yang hanya berisi diktum yang bersifat deklarator.

Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.[3]

Ciri[sunting | sunting sumber]

Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair:[4]

  1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata;
  2. Permasalahan dimohon dalam penyesuaian kepada Pengadilan Negeri, tanpa ada sengketa pada prinsipnya; dan
  3. Tidak terdapat ditarik sebagai lawan terkait orang lain atau pihak, Sehingga bersifat ex-parte. Bahwa pengajuan berdasarakan kepentingan satu pihak.

Landasan hukum[sunting | sunting sumber]

Landasan Hukum Yurisdiksi Voluntair:

1. Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sehingga proses penyelenggaran kekuasaan kehakiman pada badan-badan peradilan perdata dengan melakukan menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya di mana itu adalah fungsi utamanya.[2]

2. Berbagai pendapat mengenai yuridiksi voluntair

  • Penetapan MA No. 5 Pen/Sep/1975 (Juni 1973) dalam Kasus Forest Products Corp Ltd menjelaskan bahwa \perjanjian dibuat tidak mengikat Forest Products Corp, Ltd. dan Sah Rapat Umum Pemegang Saham. Pada 27 juni 1972 sejak putusan dijatuhkan.
  • Putusan Peninjauan Kembali (PK) No/K/AG/1990.
  • Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, tanggal 25 November 1987. Menjelaskan bahwa masalah pokok pengadilan, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara yang bersifat sengketa (contentience jurisdictie). Di samping itu, juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk ruang lingkup voluntair jurisdictie, akan tetapi kewenangan itu hanya terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.[5]
  • Pendapat Prof. Sudargo Gautama bahwa penyelesaian voluntair pada suatu perkara, yang mengandung sengketa di antaranya proses ex-parte sudah terjadi; penyelesaian sengketa yang melanggar tata tertib beracara yang baik (goede process orde), dan juga melanggar asas audi alteram partem (hak pihak lain untuk membela dan hak mempertahankan kepentingannya);dan padahal semestinya, pihak yang terkena dalam permohonan voluntair dalam kasus ini, harus didengar sebagai pihak.[5]
  • Berdasarkan Putusan MA dalam Putusan MA No. 1210 K/Pdt/1985, 30 Juni 1987, antara lain menegaskan Pengadilan Negeri yang telah memeriksa dan memutus permohonan secara voluntair, padahal di dalamnya terkadang sengketa, tidak ada dasar hukumnya. Perlu diingat bahwa yuridksi voluntair tidak termasuk dalam penyelesaian hak.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-10. Diakses tanggal 2023-07-10. 
  2. ^ a b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. 
  3. ^ Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia. 1994. 
  4. ^ Harahap, M. Yahya (2006). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. 
  5. ^ a b Harahap, M. Yahya (1997). Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.