Geguritan Sewagati

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Geguritan Sewagati
Disebut pulaᬲᬾᬯᬕᬢᬶ
JenisGeguritan
Daerah asalKubutambahan
Bahasa(-bahasa)Kawi
Juru(-juru) tulisIda Bagus Putra
Ukuran40 cm x 3,5 cm
FormatGeguritan
AksaraAksara Bali
Masuk Koleksi padaPerpustakaan Kantor Dokumentasi Budaya Bali
Salah satu latar budaya Bali yang terkandung dalam karya sastra Bali

Geguritan Sewagati merupakan salah satu puisi tradisional Bali yang mengandung nilai budaya luhur yang berkaitan dengan etika, estetika, moral dan religi.[1] Geguritan Sewagati dikarang oleh Ida Bagus Putra dengan aksara Bali. Geguritan Sewagati mengandung refleksi nilai-nilai hidup manusia yaitu konsep tri hita karana atau tiga hal yang menyebabkan kebahagian, konsep rwabhineda atau dua hal yang berbeda dan konsep tatwamasi atau etika pergaulan.[2][3][4][5] Pupuh yang digunakan dalam Geguritan Sewagati adalah pupuh pangkur dan pupuh sinom.[1]

Fungsi Geguritan Sewagati[sunting | sunting sumber]

  • Sebagai pencerminan angan-angan

Sebagai karya sastra tradisional, Geguritan Sewagita menggambarkan angan-angan masyarakat tradisional seperti angan-angan kaum remaja putri. Sejak dahulu, kaum remaja putri menginginkan agar ia menjadi wanita cantik. Demikian juga halnya pelukisan wanita yang terdapat dalam Geguritan Sewagati, tokoh Ni Sewagati dilukiskan sebagai wanita cantik dengan bentuk tubuh yang indah. Hal tersebut menggambarkan angan-angan kaum remaja putri untuk menjadi cantik.[1]

  • Sebagai alat pendidikan anak

Geguritan Sewagati berisikan unsur pendidikan, terutama pendidikan yang ditujukan kepada anak gadis. Banyak orang tua yang mengharapkan anak gadisnya mau belajar pada usia muda karena hal itu sangat berguna untuk bekal di kemudian hari. Petuah itu didapatkan dari tokoh-tokoh Geguritan Sewagati yang dapat dijadikan anutan oleh para gadis yang berpikiran maju. Pelajaran yang dapat diambil dari Geguritan Sewagita misalnya mengikuti jejak Ni Sewagati yang sangat terampil dalam segala pekerjaan wanita.[1]

  • Sebagai pengunggul dan pencela orang lain.

Geguritan Sewagita memiliki fungsi sebagai pengunggul dan pencela orang lain. Dalam hal ini, tokoh Ni Sewagati sering disanjung oleh para pemuda karena kecantikan, kepandaian, kebijaksanaan, dan keterampilan yang dimilikinya. Para pemuda yang mengenal sering membicarakan kelebihan Ni Sewagati. Sedangkan tokoh yang dicela dalam Geguritan Sewagati adalah I Mudalara yang buruk rupa. I Mudalara dicela supaya ia tahu diri dan tidak mendekati Ni Sewagati.[1]

  • Sebagai alat pelipur lara.

Karya sastra yang berbentuk geguritan atau puisi, seperti juga bentuk karya sastra lain, dapat dijadikan hiburan. Pada umumnya orang-orang yang senang menyanyikan lagu tradisional Bali akan merasa terhibur kalau mendengarkan lagu yang terdapat di dalam geguritan. Geguritan Sewagati menjadi menarik dan menghibur karena juga mengisahkan tentang keindahan seorang wanita.[1]

Sinopsis Geguritan Sewagati[sunting | sunting sumber]

Tersebutlah seorang gadis bernama Ni Sewagati, anak dari I Dukuh Emas di Banjar Sekar, Desa Tanjungsari. Ni Sewagati adalah seorang anak gadis yang sangat cantik, pandai, berbudi luhur, bijaksana, dan hampir tidak ada kekurangannya. Pekerjaan sehari-hari adalah menenun, menyulam, dan memerada kain gerinsing. Banyak sekali pemuda yang jatuh cinta kepadanya, bahkan menjadi gadis rebutan di desa. Dalam kehidupan sehari-hari ia selalu ditemani oleh saudara sepupunya yaitu Ni Sewambara dan Ni Sewambari.

Salah seorang pemuda yang tergila-gila kepadanya adalah I Mudalara, seorang pemuda yang berasal dari Banjar Kawan. Ia adalah pemuda yang berkulit hitam, badannya pendek, berkumis, berewok, perutnya buncit, rambutnya keriting, tubuhnya kudisan dan mukanya bopeng. Karena begitu besar cintanya kepada Ni Sewagati, I Mudalara memohon kepada ibunya agar mau melamar Ni Sewagati untuk dijadikan istrinya. Ibunya pun memenuhi keinginan anaknya itu, lalu pergi melamar Ni Sewagati kepada ayahnya, I Dukuh Emas. Lamaran itu diterima dengan baik asalkan sudah saling mencinta. I Dukuh Emas dan istrinya tidak menghalanginya.

Setelah mendengar lamaran diterima, I Mudalara sangat senang hatinya. Ia sering ke rumah Ni Segawati sekadar membantu pekerjaan yang ada di rumah calon istrinya itu. Di sisi lain, Ni Sewagati tidak mencintai I Mudalara tetapi ia tidak melakukan protes kepada orang tuanya. Teman-temannya sering menggodanya karena telah memiliki calon suami yang jelek rupanya tetapi ia tidak menanggapinya dengan serius.

Pada waktu sembahyang di pura Rambutnaga, Ni Sewagati bertemu dengan seorang pemuda yang bernama I Ratnasemara. Pemuda itu berasal dari Puspanegara, anak janda Sumampir. I Ratnasemara adalah pemuda yang tampan, pandai dalam sastra, bijaksana dan halus pekertinya. Hal itu menyebabkan banyak wanita yang berusaha merebut hatinya tetapi ia tidak tertarik.

Pada waktu bertemu pandang pertama kali di pura Rambutnaga, Ni Sewagati dan I Ratnasemara sudah saling jatuh cinta tetapi mereka belum sempat berbicara. Sejak pertemuan itu, mereka berdua selalu gelisah karena mereka ingin bertemu. I Ratnasemara memohon kepada ibunya agar mau melamarkan Ni Sewagati untuk dijadikan istrinya. Ibunya memenuhi keinginan anak itu. Lamaran tersebut diterima dengan baik oleh Ni Sewagati. Untuk melepaskan kerinduan, mereka sering berkirim surat melalui perantara ibunya I Ratnasemara.

Terakhir Ni Sewagati mengirim surat kepada I Ratnasemara agar ia mampu melayani sesuai dengna keinginan mereka berdua. Apabila I Ratnasemara benar-benar mencintainya dan berani mati demi cinta, ia harus berani datang memenuhi permintaannya itu. Pada malam yang telah disepakatinya, I Ratnasemara pun datang memenuhi permintaan Ni Sewagati. Mereka berdua saling melepaskan rindu sesuai dengan keinginan mereka tanpa seorang pun mengetahuinya.[1]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g I Made Sudiarga, I Ketut Karyawan, I Ketut Sudewa, Ni Putu Ekatini Negari (2002). Geguritan Sewagati Analisis Struktur dan Fungsi (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 1-47. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2019-12-23. 
  2. ^ "Tri Hita Karana dalam Agama Hindu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-08. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  3. ^ "Cosmogony and Tri Hita Karana". Diakses tanggal 15 Mei 2014. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ "Filosofi Hidup Orang Bali". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-17. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  5. ^ "Tri Hita Karana: Falsafah dibalik penetapan Lanskap Subak Bali sebagai Warisan Dunia UNESCO". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-17. Diakses tanggal 15 Mei 2014.