Foto Jurnalistik dan Semiotik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Foto jurnalistik merupakan bertemunya fotografi dan jurnalistik. Secara istilah, foto jurnalistik adalah foto yang mempunyai nilai berita dan menarik minat pembaca. Aspek penting yang harus ada dalam foto jurnalistik adalah fakta, informasi, dan cerita. Foto jurnalistik sering dianggap lebih bermakna dibandingkan seribu kata. Hal ini tidaklah berlaku. Karena foto jurnalistik membutuhkan keterangan tertulis atau teks penyerta (takarir). Inilah yang membedakan antara foto jurnalistik dengan fotografi lainnya. Takarir membantu mengarahkan persepektif sebuah foto dan menjelaskan detail informasi yang tidak ada dalam foto, yang membingungkan, ataupun tidak jelas. Keterangan pada foto untuk mempertemukan foto dengan konteksnya dan membantu pembaca membangun pemahaman cerita dibaliknya, menggiring pembaca untuk kembali melihat foto.

Konsep jurnalistik dengan rumus 5W+1H menjadi batasan yang jelas dalam menilai sebuah foto jurnalistik sebagai bagian dari produk jurnalistik. Foto jurnalistik sebagai media visual merupakan bagian dari cara berbahasa yang dapat menyimpulkan suatu makna. Sebuah foto bukan hanya representasi visual objek yang direproduksi, melainkan mengandung pesan yang bermakna.

Media terbaik saat ini yang mampu menghubungkan manusia di seluruh dunia dengan bahasa gambar yang dapat melaporkan peristiwa umat manusia secara ringkas dan efektif adalah foto jurnalistik. Seluruh peristiwa yang melanda seluruh dunia begitu mudahnya untuk diceritakan melalui foto jurnalistik. Semua disajikan dengan detail melalui bidikan pewarta foto yang menghasilkan foto jurnalistik hasil dari realitas dan fakta yang terjadi, bukan hanya menarik mata memandangnya namun juga syarat akan nilai berita yang memiliki makna dalam peristiwa yang disajikan menjadi sebuah pengetahuan.[1]

Fungsi Foto dalam Jurnalistik[sunting | sunting sumber]

Foto telah menjadi bagian integral dari jurnalistik sejak pertama kali dipopulerkan pada abad ke-19. Selama bertahun-tahun, teknologi fotografi telah berkembang pesat, dan saat ini foto menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berita dan informasi. Berikut adalah beberapa alasan mengapa foto sangat penting bagi perkembangan jurnalistik:

Pertama, Memperkuat Narasi. Foto dapat membantu memperkuat narasi yang disajikan dalam berita. Dalam banyak kasus, gambar dapat menyampaikan pesan dengan lebih efektif daripada kata-kata. Foto juga dapat membantu pembaca lebih mudah memahami cerita yang disajikan. Kedua, Memberikan Konteks. Foto dapat memberikan konteks dan latar belakang untuk cerita yang sedang dilaporkan. Misalnya, foto yang menunjukkan kerumunan orang yang tidak memakai masker dapat memberikan gambaran yang jelas tentang situasi yang sedang terjadi. Ketiga, Memperkaya Isi Berita. Foto dapat memperkaya isi berita dan menarik minat pembaca. Sebuah gambar yang menarik dapat membuat pembaca lebih tertarik untuk membaca berita dan lebih memahami isi berita yang disajikan. Keempat, Menggambarkan Realitas. Foto dapat menjadi bukti nyata dari suatu kejadian. Dalam beberapa kasus, foto dapat membantu membuktikan atau membantah suatu kejadian atau klaim. Kelima, Meningkatkan Visualisasi. Foto dapat membantu meningkatkan visualisasi dalam berita. Sebuah gambar yang bagus dapat membantu membentuk citra yang kuat dalam pikiran pembaca, yang dapat membantu mereka memahami cerita yang sedang dilaporkan.

Namun, foto juga dapat menimbulkan masalah etika dalam jurnalistik. Foto yang disunting atau dimanipulasi dapat menimbulkan permasalahan tentang keabsahan dan integritas berita. Oleh karena itu, jurnalis harus memastikan bahwa foto yang mereka gunakan adalah akurat dan tidak dipalsukan.

Dalam perkembangan jurnalistik modern, foto tetap menjadi alat penting untuk membantu menyampaikan cerita dan memberikan gambaran yang jelas tentang situasi yang sedang terjadi. Dengan perkembangan teknologi fotografi yang terus berlanjut, foto akan terus menjadi bagian integral dari jurnalistik dan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan jurnalistik yang lebih baik.[2]

Semiotik[sunting | sunting sumber]

Istilah semiotik atau semiotika secara etimologis berasal dari kata Yunani semeion artinya “tanda”. Pemahaman semiotika pada tanda dan cara tanda dipergunakan memperlihatkan adanya kajian pada tanda sebagai objek yang disampaikan. Sehingga dalam kajian semiotika tanda dimaknai sebagai upaya pemahaman yang merujuk kepada objek. Pemahaman ini dibutuhkan dalam memahami semiotika yang mengutamakan tanda sebagai objek dapat mewakili pemahaman sosial sebagai sarana pemahaman semiotika.

Inti fokus semiotika adalah tanda. Semiotika memiliki tiga wilayah studi utama yaitu:

1. Tanda itu sendiri, karena tanda itu hasil konstruksi manusia, maka hanya bisa dipahami dengan cara manusia menggunakannya.

2. Organisasi kode atau sistem tanda, meliputi cara-cara di mana beragam kode dikembangkan agar dapat memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat atau kultur atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia dalam proses transmisi tanda.

3. Kebudayaan tempat kode-kode dan tanda-tanda itu beroperasi untuk eksistensi dan bentuknya sendiri.

Tanda bisa dipersepsi indra manusia karena sesuatu yang bersifat fisik; tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengamatan oleh penggunanya. Semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek- objek, peristiwa-peristiwa yang terjadi, seluruh kebudayaan, yang diartikan sebagai tanda. Oleh karena itu, antara semiotika dan tanda sangat erat kaitannya, sehingga semiotika lebih dimaknai sebagai ilmu tanda. Tanda dapat berupa apa saja yang maknanya dibuat dan disepakati hingga dapat bermakna berada dalam berbagai interaksi manusia.

Salah satu model semiotik yang digunakan adalah model Roland Barthes. Pandangan Barthes mengenai tanda itu ada dua yakni penanda atau signifieryang mewakili elemen bentuk atau isidan petanda atau signified yang mewakili elemen konsep atau makna. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah disebut sebagai tanda yang menjadi mediator antara makna denotasi, makna konotasi dan juga mitos menjadikan tiga bagian inti yang dibangun Barthes dalam signifikansi model dua tahap pemaknaansebagai konsep utama yang membangun tanda. Posisi penanda dan petanda itu sendiri merujuk pada denotasi sekaligus bermakna konotatif yang berada pada pergantian tataran pertama.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Media, Kompas Cyber (2022-01-13). "Mengenal Foto Jurnalistik, Pelaporan Berita Lewat Foto". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-17. Diakses tanggal 2023-04-13. 
  2. ^ "Foto Jurnalistik: Cerita dengan Citra". tempoinstitute.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-02. Diakses tanggal 2023-04-13. 
  3. ^ Pandu (2022-10-12). "Memahami Teori Semiotika dalam Kajian Ilmu Linguistik - Gramedia". Gramedia Literasi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-17. Diakses tanggal 2023-04-13.