Etnoastronomi Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Etnoastronomi adalah kajian yang membahas budaya yang memanfaatkan fenomena langit disebut sebagai etnoastronomi. Ini merupakan bagian dari kajian astronomi budaya yang merupakan perpanduan antara etnografi dan astronomi.[1] Sebagai negara agraris dan maritim, leluhur Indonesia telah banyak mengenali tentang astronomi atau perbintangan, baik itu digunakan sebagai patokan pertanian atau pelayaran. Masyarakat tradisional Indonesia belum bisa membedakan planet dan bintang, karena semua yang dilihatnya disebut sebagai bintang. Pengetahuan tentang planet pun hanya sampai Saturnus, karena Uranus, Neptunus, dan Pluto sangat sulit dan langka untuk diamati dengan mata telanjang.

Pulau Sumatra[sunting | sunting sumber]

Aceh[sunting | sunting sumber]

Keuneunong Aceh yang dituiskan dalam tulisan Jawi

Ilmu astronomi di Aceh yang tercatat adalah Keunong. Keunong atau Keuneunong adalah sebuah sistem kalender atau penanggalan oleh masyarakat Suku Kluet di provinsi Aceh, berdasarkan arah angin, peredaran matahari, dan musim, dalam melakukan bercocok tanam.[2] Sistem ini berkaitan dengan waktu bercocok tanam, melaut, prakiraan cuaca, dan penentuan waktu acara adat Keuneunong telah diawali pada Keuneunng dua ploh lhee (diartikan dengan tanggal 23 Jumadil Akhir, merujuk pada tahun Hijriah). Pada Keuneunong ini, biasanya padi-padi di sawah mulai menguning, banyak yang mulai rebah dan menjadi puso karena angin timur yang sangat kencang. Artinya bahwa, situasi di sawah juga dijadikan sebagai acuan untuk melihat waktu yang tepat untuk melaut. Jadi, dengan menanam padi sesuai Keuneunong, maka bisa digunakan juga untuk melihat tanda-tanda yang baik pergi berburu ikan di laut.[3]

Nias[sunting | sunting sumber]

Masyarakat tradisional Nias memoliki pembagian dan penamaan waktu mereka mengacu pada aktivitas sehari-hari seperti beternak, bertani, kerja domestik dan fenomena alam lainnya. Penamaan waktu ini mereka sebut sebagai penanggalan harian yaitu Fanötöi ginötö. Selain kalender Masehi dan kalender Fanötöi ginötö masyarakat Nias mempunyai kalender periode senggang tahunan digunakan untuk kegiatan pertanian dan kegiatan adat istiadat suku Nias yang mengacu pada peredaran Bintang Orion atau Bintang Sara Wangahalo.[4]

Ada beberapa cerita mengenai Bintang Orion ini. Salah satunya adalah versi dongeng berkisah perihal Ndröma. Ndröma dan istrinya Simarimbaŵa memiliki sebelas orang anak. Pada suatu hari anak-anak Ndröma pergi berburu. Sepulang berburu, saat mereka tiba di rumah, pintu rumah tidak dibukakan. Anak sulung bertanya, mengapa ayahnya tidak membuka pintu. Karena tidak ada jawaban, maka dipotongnya jari-jarinya dan diletakkannya di atas tangga. Lalu mereka pergi seraya berseru, “Karena ayah tidak mengizinkan kami masuk, kami pergi, kami akan menjadi Sarawalaho”. Setelah anaknya pergi, hati Ndröma iba. Sambil membawa obor, bersama istri dan budaknya, dia mencari anaknya. Namun mereka tak pernah bertemu, para anak telah menjelma menjadi ndröfi si Felezara (bintang Sebelas). Ndröma, sawuyu (budak), dan Simarimbaŵa menjelma pula menjadi ndröfi si Tölu (bintang Tiga). Tokoh versi lain Balugu Hatölu dan istrinya Boworia (Hämmerle, 1999: 137-8). Kesebelas anak mereka: Lölömatua Ita Bara, Lökhö Sitölu, Lökhö Famaigi, Lökhö Fangila, Lökhö Angi, Döfi Famaigi, Döfi Fangila, Mondröi, Döfi Balazi, Ondröita, dan Fagohi Döfi. Dalam versi ini: bintang Sebelas jelmaan para anak Hatölu, sedang bintang Tiga jelmaan Hatölu, Boworia, dan Sibahu Barazo Laoya (istri Lölömatua Ita Bara).[5]

Bintang Tiga inilah Alnitak-Alnilam-Mintaka versi Nias. Sementara bintang Sebelas adalah sebelas bintang di dekatnya, disebut juga döfi Zara (döfi = bintang, tahun; zara dari felezara = sebelas) alias ndröfi Sara (bintang Sara). Dalam perspektif masyarakat Nias, bintang-bintang penyusun rasi Orion adalah representasi tokoh cerita, bukan citra benda sebagaimana imajinasi orang Yunani, Jawa, Sumeria, dan Mesir.

Masyarakat Nias ini hidup dalam lingkaran adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Penanggalan tradisional Nias ini mengacu pada daur Bulan atau fase Bulan. Terdiri dari 15 hari pertama dinamakan Bulan terang dan 15 terakhir Bulan mati. Sistem penanggalan ini tergolong sebagai penanggalan Luni-Solar dengan perhitungan Astronomik. Metode perhitungan Astronomik ini didasarkan pada pengamatan yang berkelanjutan serta didasarkan pada perhitungan Astronomi dan jelas lebih sulit.

Sistem penanggalan suku Nias (Sara Wangahalö) disebut juga sebagai kalender musim pertanian masyarakat tradisional Nias. Masyarakat tradisional Nias biasanya menyebut tanggal/hari dengan istilah bulan, berpatokan pada fase-fase Bulan selama 29/30 hari. Selama 29/30 bulan (hari) terdiri dari 15 pertama Bulan terang dan 15 terakhir Bulan mati. Selama 1 tahun pertanian terdiri dari 12 (biasa) 13 (interkelasi) siklus bulan sehingga jumlah harinya bisa terdiri dari 354/355/383/384/385. Awal bulannya mengacu pada kemunculan hilal atau mayarakat tradisional Nias menyebutnya dengan istilah Bulan Sabit Kecil. Penggunaan penanggalan ini oleh masyarakat Nias yaitu diantaranya, pertama adalah untuk melacak lahirnya kota Gunungsitoli. Kedua, penentuan hari baik dan hari buruk. Ketiga, Kegiatan Pertanian sebagai tanda musim pertanian.

Batak[sunting | sunting sumber]

Parhalaan (ᯇᯒ᯲ᯂᯞᯀᯉ᯲) adalah ilmu perbintangan yang dianut oleh masyarakat batak tradisional yang berbentuk sistem penanggalan. Parhalaan terdiri dari dua belas bulan yang masing-masing berjumlah tiga puluh hari. Penggunaan kalender Batak tidak dalam rangka penanggalan, melainkan dipakai untuk meramalkan hari-hari ke depan (panjujuron ari). Inilah sebabnya Orang Batak kuno tidak pernah mengetahui angka tahun karena memang mereka tidak pernah menghitungnya, tidak seperti kalender Masehi, Kalender Hijriyah atau Kalender Cina yang kita kenal dan kita gunakan saat ini. Pada intinya Porhalaan merupakan manifestasi kesadaran orang Batak terhadap fenomena-fenomena alam, perbintangan, gerak matahari, perjalanan bulan yang berputar mengelilingi bumi. Penanggalan tradisional Batak ini kuat dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budhha, hal ini dicirikan oleh penggunaan akar kata bahasa Sansekerta dalam penggunaan nama hari dan astrologi.[6]

Parhalaan berasal dari kata dasar "hala" yang berakar dari kata Sansekerta "kala" yang berarti serangga menyengat atau kalajengking. Tahun Batak dimulai ditandai dengan posisi utara Orion di langit Barat sampai tahun baru Lalu bulan purnama berikutnya yang diamati dari Timur, yang kemudian berada di area Scorpio (Hala) di langit sebelah Timur. Mereka melihat hubungan antara Bulan, Bintang, Bumi, dan Matahari dengan manusia yang menghuni bumi.[7]Nantinya, dalam pembacaan Parhalaan, hari yang harus dihindari adalah pada notasi kepala, punggung dan ekor kalajengking. Sedangkan untuk hari baik adalah pada bagian perut kalajengking.[8]

Parhalaan terdiri dari 12 bulan, yaitu: Sada (Januari), Sipaha Dua (Februari), Sipaha Tolu (Maret) , Sipaha Opat (April), Sipaha Lima (Mei), Sipaha Onom (Juni), Sipaha Pitu (Juli), Sipaha Ualu (Agustus), Sipaha Sia (September), dan Sipaha Sampulu (Oktober). Sedangkan bulan ke-11 (November) disebut dengan Bulan Li, bulan ke-12 (Desember) disebut dengan Hurung. Kelompok Batak yang sampai sekarang masih menggunakan Kalender Parhalaan adalah Parmalim. Parmalim merupakan penganut aliran kepercayaan yang ajarannya berdasarkan pada leluhur nenek moyang orang Batak.[9][10][11]

Minangkabau dan Riau[sunting | sunting sumber]

Dokumentasi dan pengetahuan tentang ilmu astronomi di Melayu, khususnya Minangkabau dan Riau sangatlah sedikit dan tidak terlalu diketahui. Astronomi Melayu ditampilkan dan diwariskan melalui manuskrip kuno yang sarat ilmu matematika yang rumit yang ditulis dalam tulisan Jawi. Kitab Ilmu Perbintangan Melayu ini setelah Islam masuk ke tanah Melayu, dimodifikasi dengan memasukkan nama nama malaikat dan jin yang dikenal dalam dunia Islam, sebagai penjaga semesta. Ilmu perbintangan yang dianut masyarakat Melayu dipengaruhi oleh Budaya Timur, dan dikenal sebagai ilmu falak, hal ini digunakan terutama untuk menentukan hilal. Hal ini didukung dengan nama-nama planet dan penanggalan hijriah yang digenggam erat oleh masyarakat melayu, khususnya di Malaysia.

Pulau Kalimantan[sunting | sunting sumber]

Kalimantan Tengah[sunting | sunting sumber]

Masyarakat tradisional kalimantan Tengah mengenal 2 musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Dalam melakukan berbagai kegiatan mereka mengetahui musim tersebut, mereka menghitung bulan berawal dari bulan yang mulai timbul di langit. Perhitungan ini tidak mengikuti perhitungan bulan yang berawal dari bulan Mei sampai dengan berlangsung. Untuk mengetahui musim tersebut, mereka menghitung bulan berasal dari bulan yang mulai timbul di langit, Perhitungan ini tidak mengikuti perhitungan bulan yang berawal dari satu (Januari,) tetapi perhitungan tersebut berawal dari bulan Mei sampai Juni yang disebut bulan satu atau bulan "Pahareman".

Perbintangan

  • Bintang patendu (Orion): Bila posisi bintang ini sejajar pandang disebut "Bantai Acan". Dalam keadaan posisi demikian, berarti para petani mulai menebas hutan untuk berladang atau berkebun. Sedangkan bila posisi bintang tersebut tepat 30°, disebut "Asul Lasung". Pada saat itu merupakan tanda bagi petani untuk "manugal" (pekerjaan mananam benih padi).
  • Tampung bua (Bintang biduk): Munculnya bintang ini sebagai tanda akan tiba musim buah-buahan atau tanaman akan mulai berbuah.
  • Ijang bawui / Rahang babi (Taurus): Muncul di langit dengan posisi seperti huruf V. Terdiri dari sejumlah bintang kecil, yang jarang menampakkan diri.
  • Ijang Pahera (Crux): Kelompok bintang ini berbentuk seperti "pahera". Pahera adalah alat untuk menebang kayu yang merupakan tempat beliung.
  • Balui kayun tanggui (Pleiades): berbentuk bundar atau melingkar, yang terdiri dari sejumlah bintang-bintang kecil. Munculnya bintang Balui Kayun Tanggui tersebut sekali dalam setahun, juga sebagai tanda untuk melakukan kegiatan berladang terutama merumput.

Kalimantan Barat[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Dayak Kantuk sebelum mengerjakan setiap kegiatan berladang, selalu menerapkan berbagai pertanda yang kemudian dijadikannya sebagai pedoman untuk memulai suatu kegiatan berladang. Umumnya, tanda-tanda tersebut diperoleh dari posisi benda langit seperti matahari, bulan dan bintang.

Kegiatan mencari lahan untuk berladang oleh masyarakat Dayak Kantuk dikenal dengan sebutan manggul. Ketika tanda-tanda permulaan musim berladang telah muncul, masyarakat suku Dayak mulai mencari lahan yang akan digarap untuk ditanami padi. Pertanda dimulainya kegiatan ini adalah saat bintang berada dalam posisi rayar padi yakni ketika Bintang Banyak (Pleiades) berada di atas dan Bintang Tiga (Orion) berada di bawahnya.

Setelah kegiatan mencari lahan, ada kegiatan menebas lahan atau Nabaeh. Nabaeh dilakukan oleh suku Dayak Kantuk ketika melihat adanya bintang Peradah (Canis major), yaitu tiga buah bintang yang membentuk mirip tangkai beliung yang menandakan musim kemarau akan segera datang. Kegiatan ini dilanjut dengan kegiatan menebang dengan pertanda yang sama dengan Nabaeh.

Berikutnya kegiatan membakar (nunu') dengan ditandakan bintang pada posisi gerah tengkelai yakni saat Bintang Banyak dan Bintang Tiga berada pada ketinggian sekitar 50 derajat dari pengamat.

Kegiatan selanjutnya adalah menanam benih padi atau menugal yang didasarkan pada bintang dengan posisi nanggak renjan yakni Bintang Banyak dan Bintang Tiga berada pada ketinggian sekitar 70 derajat. Kegiatan ini dilanjutkan dengan aktivitas membersihkan rumput, memanen, dan terakhir upacara adat Gawai dan tahun baru.

Kalimantan Selatan[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Dayak Meratus tradisional mengandalkan pertanda astronomis seperti bintang, matahari dan bulan untuk melakukan kegiatan seperti bertani dan upacara adat. Ada tiga jenis bintang yang dipakai sebagai pedoman, yaitu Bintang Karantika (Pleiades), Bintang Baurbilah (Orion), dan Bintang Rambai (Ursa Major).

Bintang Karantika dikenal juga dengan nama bintang tujuh karena jumlahnya tujuh buah. Bintang Baurbilah adalah bintang yang jumlahnya tiga dengan posisi selalu membentuk garis lurus.

Sedangkan Bintang Rambai selalu membentuk gugusan dan berkelompok. Ketika muncul di langit, posisi bintang-bintang itu dapat dibaca dengan baik oleh orang Dayak, misalnya waktu menanam yang baik adalah ketika bintang-bintang itu berada pada posisi kurang lebih sekitar pukul 9 di ufuk Timur.

Kalimantan Timur[sunting | sunting sumber]

Penanggalan Dayak Wehea memiliki keunikan tersendiri, karena hanya memiliki dua unsur dalam penanggalan, yaitu bulan dan masa. Bulan dalam penanggalan Dayak Wehea menunjukan arti tanggal. Sehingga setiap harinya masyarakat Dayak Wehea berganti bulan. Perbedaannya terletak pada penggunaan angka untuk tanggal pada kebanyakan kalender sedangkan pada kalender Dayak Wehea menggunakan istilah bahasa Dayak. Tanggal ini disebut sebagai bulan dikarenakan mengikuti wujud bulan yang tampak di langit setiap malamnya, sehingga penyebutannya bukan tanggal melainkan bulan. Bulan dalam kalender Dayak Wehea tediri dari 29 atau 30 bulan.

Pulau Jawa[sunting | sunting sumber]

Sunda[sunting | sunting sumber]

Ilmu astronomi dalam bahasa Sunda disebut juga palintangan. Orang Sunda sejak zaman duhulu telah mengetahui dunia perbintangan (palintangan), seperti adanya pranata mangsa (aturan musim) untuk menentukan perhitungan waktu sebagai pedoman bercocok tanam. Keterkaitan palintangan dengan tradisi agraris Sunda juga melahirkan penentuan musim dalam satu tahunnya.

Sistem Palintangan bertumpu pada pola perhitungan hari, pasaran, bulan, tahun, dan nilai-nilai lai yang disebut naktu. Hasil dari Palintangan tersebut akan menghasilkan poe alus (hari baik) atau poe naas (hari sial). Acuan perhitungan hari (Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Juma’at, Sabtu) dan perhitungan pasaran (Kaliwon, Manis, Pahing, Pon, Wage) memiliki nilai pada masing-masing penentuan hari dan pasarannya. Selain itu, palintangan juga dapat dijadikan rujukan menentukan pergerakan matahari. Pada siang hari, pergerakan matahari menuju ke arah timur dan barat, dan pergerakan bulan pada malam hari jadi pedoman bagi manusia untuk menentukan hari dalam perhitungan bulan. Selanjutnya bintang pari (Crux), bintang Biduk, dan tetangkalan kalapa (Scorpius) dapat dijadikan rujukan untuk menunjuk arah selatan, arah tenggara, dan arah utara. Rasi Orion (luku, waluku,wuluku) dipakai dalam menentukan musim atau perhitungan kalender untuk kegiatan bertani atau bercocok tanam. Berdasarkan pada benda angkasa yang telah disebutkan, rasi orion benda yang sangat penting dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian.

Kalender Baduy adalah sistem kalender yang digunakan oleh Suku Sunda Baduy di daerah Banten. Kalender Baduy termasuk dalam kalender matahari dimana satu tahun rata-rata sama dengan satu tahun tropis (365 hari matahari 5 jam 48 menit 45.19 detik). Rasi bintang yang sangat penting bagi masyarakat Baduy yaitu rasi bintang Orion (atau Bintang Kidang atau Bintang Waluku atau Bintang Bajak atau Guru Desa) dan rasi bintang Pleiades (atau Bintang Kartika atau Bintang Gumarang). Bintang Kartika biasanya muncul dua pekan sebelum munculnya Bintang Kidang ketika matahari berada di belahan bumi utara. Menurut masyarakat Baduy, pada saat itulah tanah sedang dingin. Sebaliknya, ketika Bintang Kidang mulai terbenam di cakrawala barat dan tidak dapat terlihat adalah saat yang tidak tepat untuk menanam padi karena tanah sedang panas dan banyak serangga hama.

Tata surya Nama hari
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda Bahasa Jawa Bahasa Indonesia Bahasa Sunda Bahasa Jawa
Matahari Radite Redite Minggu Radite Redite
Merkurius Buda Buda ; brama Senin Soma Soma
Venus Sukra Sukra ; Panjer rina / Panjer sore Selasa Anggara Anggara
Mars Anggara ; lintang merah Jaka belek Rabu Buda Buda
Jupiter Respati Wraspati Kamis Respati Wraspati
Saturnus Tumpek Tumpak ; Sani ; Johar Jumat Sukra Sukra
Uranus - Gunawan ; Arun Sabtu Tumpek Tumpak
Neptunus - Paramarta - - -
Pluto - Wiratama - - -

Jawa[sunting | sunting sumber]

Rasi bintang Pleiades atau Bintang Kertika

Palintangan jawa mengenali sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya serta daerah yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.

Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, tetapi di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.

Pada tahun 1856 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, diresmikan oleh Sunan Pakubuwana VII.[10] Sebenarnya, pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang sudah digunakan pada zaman pra-Islam, hanya saja disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya dan meninggalkan tarikh Hindu; akibatnya, umur setiap mangsa berbeda-beda.

Orang Nusantara tidak mengenali dan memahami konsep planet, semua benda bercahaya di langit disebut sebagai bintang. Venus dan Mars adalah dua planet yang lekat dengan kehidupan Jawa. Venus disebut panjer rina (ketika muncul di pagi hari) atau panjer sore (ketika muncul di sore hari) dan Mars disebut jaka belek, dimana kedua planet ini digunakan untuk menentukan musim, waktu penanggalan, pertanian dan melaut. Kata "jaka belek" dapat diartikan sebagai "anak laki-laki yang mengalami konjungtivitis", konjungtivitis sendiri adalah kondisi dimana mata mengalami infeksi dan memerah, hal ini memcerminkan cahaya sinar Mars yang kemerahan.

Berikut istilah astronomi dalam kebudayaan Jawa lainnya :

  • Lintang kemukus (Komet) : Lintang kemukus ini dikatakan sebagai pembawa pesan, entah sebuah ontran-ontran atau gegeran, hingga awal atau berakhirnya sebuah peristiwa besar. Lintang kemukus berasal dari kata kukus yang diberi sisipan -em yang berarti asap atau uap.
  • Lintang tiban (Meteor) : Berasal dari kata tiban yang berarti jatuh atau menghantam bumi. bintang yang berpindah posisi. Lintang tiban atau benda langit lainnya yang terbakar di atmosfer bumi yang secara tampak mata telanjang seperti bintang yang bergerak cepat untuk berpindah posisi disebut lintang alihan.
  • Lintang wuluh , lintang kerti atau lintang kartika (Pleiades) : Gugus bintang terbuka di rasi bintang Taurus, merupakan gugus bintang paling jelas dilihat dengan mata telanjang, dan salah satu yang terdekat dengan Bumi, lintang wuluh ini tersirat dalam ukiran Candi Borobudur yang menggambar tujuh buah bintang.
  • Gubuk penceng (Crux) : Rasi bintang ini memiliki makna penting dalam menunjukkan arah selatan saat melaut. Dikisahkan ada seorang perempuan yang sedang membawa makanan pada pada pemuda yang membangun gubuk di tengah sawah. Kecantikan gadis itu membuat pemuda-pemuda itu teralihkan konsentrasinya dan membuat konstruksi gubuk menjadi miring.
  • Wulanjar ngirim (α dan β Centauri) : WulaPada tahun 1856 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, diresmikan oleh Sunan Pakubuwana VII.[10] Sebenarnya, pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang sudah digunakan pada zaman pra-Islam, hanya saja disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya dan meninggalkan tarikh Hindu; akibatnya, umur setiap mangsa berbeda-beda.njar (perempuan janda) ngirim merepresentasikan perempuan yang bertugas untuk mengirim makanan pada pemuda yang membangun gubuk di sawah, dalam hal ini adalah gubuk penceng.
  • Waluku (Orion) : Masyarakat Jawa mempercayai bahwa rasi ini membentuk rupa seperti bajak sawah atau waluku, yang artinya waktu yang tepat untuk bertani dan menanam tanaman panen. Apabila mata Waluku berada di bawah menghadap ke bumi, kegiatan menggembur tanah perlu dimulai, tetapi jika Waluku berada dalam kedudukan terbalik seperti dalam posisi terbalik atau telah disimpan, maka kegiatan membajak selesai dan padi sudah bisa ditanam.
  • Banyak angrem (Nebula coalsack) : Banyak angrem ("angsa yang mengeram") adalah nebula yang terletak di antara Southern Cross dan α dan β Centauri, dimana hal ini dapat dilihat sepanjang malam pada bulan ke-11 dalam pranatamangsa. Namun dalam beberapa dilek, banyak angrem merujuk pada rasi bintang Scorpius.
  • Klapa doyong (Scorpio) : Penamaan ini diketahui diambil dari formasi bintang scorpio yang berbentuk seperti batang pohon kelapa yang miring. Digunakan untuk menunjukkan arah timur dan tenggara.
  • Bimasekti (Miky Way) : Bima Sekti merupakan kumpulan bintang yang menyerupai senjata Raden Bima, salah satu tokoh Pandhawa dalam kisah Mahabarata, yang merupakan galaksi dimana bumi berada. Galaksi dalam bahasa Jawa kuno adalah Wintang Wuwur.
  • Sapi gumarang (Taurus) : Lintang Sapi Gumarang terletak di sebelah utara lintang waluku, yang digunakan debagai patokan pertanian, peternakan dan upacara adat.
  • Pedati Suwung (Ursa major) : Pedati suwung terlihat sebagai tujuh bintang terang di belahan langit utara yang berguna bagi kapal dan perahu sebagai patokan saat berlayar pada malam hari.
  • Wulan kalangan (Halo bulan)

Bali[sunting | sunting sumber]

Palelintangan Bali merupakan salah satu budaya yang dimiliki oleh masyarakat hindu di Bali. Kata palelintangan berasal dari kata lintang atau bintang, yang memiliki arti perbintangan atau zodiak khas Bali.Palelintangan ditetapkan berdasarkan pertemuan pancawara dan saptawara sehingga memiliki jumlah 35 lintang.

Masyarakat bali sangat lekat dengan Jyotisha (jyotiṣa, dalam Bahasa Hindi, dan dalam Bahasa Inggris: Jyotish), ilmu astrologi Hindu, yang merupakan salah satu bagian dari Wedangga, dan juga dikenal sebagai salah satu ilmu perbintangan kuno yang paling tua, yang memberi pengaruh terhadap ilmu-ilmu perbintangan lainnya di India.

Lombok[sunting | sunting sumber]

Papan Wariga Sasak di Museum De Baloq Sade

Di antara benda- benda langit di angkasa, matahari dan bulan lebih banyak mendapat perhatian masyarakat sasak karena pergantian siang dan malam silih berganti, mempengaruhi iklim di bumi, pasang surut air laut, dan segala aktivitas kesehariannya. Karena dapat menentukan kehidupan manusia. Baik masyarakat moderen maupun tradisional masih sangat percaya terhadap gejala alam terutama peredaran matahari, bulan, dan bintang. Almanak yang digunakan sebagai alat sinkronisasi penanggalan tradisional masyarakat Sasak disebut wariga yang terdiri dari empat jenis wariga.

Bintang-bintang yang di penanda dalam hitungan wariga, antara lain: bintang timuq (bintang kejora), bintang rowot (Pleiades), bintang tenggala (bintang weluku), bintang perek menah, bintang teriq (meteor), munculnya kalialah (pelangi di langit), Tegedoq Bute (Crux-Scorpio), terjadinya guntur dan lain-lain.

Sistem penanggalan sasak disebut kalender Rowot, yang menggunakan acuan kemunculan rasi bintang Rowot atau dikenal sebagai gugus bintang Pleiades di ufuk timur pada waktu Subuh. Asal mula penamaan bintang Rowot karena susunan bintangnya terlihat mirip seperti Rowot yang menurut Suku Sasak artinya daun asam yang masih muda. Nama Rowot juga berarti Padi Rowot yaitu padi lokal berumur panjang dari Suku Sasak yang hanya akan berbunga tepat dengan kemunculan rasi bintang Rowot. Perhitungan Kalender Rowot Sasak selain menggunakan rasi bintang Rowot juga dibantu dengan acuan Bulan (Lunar) yang dikenal sebagai Tahun Hijriyah dan Matahari (Solar) yang dikenal sebagai Tahun Gregorian dengan pola 5-15-25 secara repetitif.

Pulau Sulawesi[sunting | sunting sumber]

Sulawesi Tenggara[sunting | sunting sumber]

Menurut masyarakat setempat, mereka mempercayai bahwa matahari naik dari timur berjalan melintasi langit dan turun di sebelah barat. Dalam hal ini, matahari mengelilingi bumi, bukan bumi yang me- ngelilingi matahari. Sementara itu, "dhunia" (bumi) merupakan tempat tinggal manusia dan sebagai pusat segalanya.

Sebagian masyarakat menganggap bahwa matahari adalah sesuatu yang sangat ditakuti, sedangkan bulan digambarkan sebagai suatu yang sangat menarik, indah, cantik, anggun, dan berbagai istilah pujian lainnya. Sebagian masyarakat lainnya melambangkan matahari itu sebagai bapak (lelaki) dan bulan sebagai ibu (wanita).

Suatu saat bulan me- nyembunyikan anak-anaknya (bintang-bintang) di dalam suatu wadah. Bulan kemudian menantang matahari untuk melakukan hal yang sama. Mendengar hal itu, matahari benar-benar menelan anak- anaknya (bintang-bintang). Bulan pun membalasnya dengan mengeluarkan anak-anaknya (bintang-bintang) dari wadah. Itulah sebabnya kalau siang tidak ada bintang dan hanya malam hari banyak bintang di langit.Ulah bulan itu menjadikan matahari dendam, ia memperalat seekor raja naga untuk menelan bulan dan sehingga terjadilah gerhana.

Warga masyarakat setempat menghitung hari peredaran bulan se- lama 30 hari. Di antara hari-hari itu ada yang dianggap baik untuk melaku- kan suatu kegiatan dan ada pula yang dianggap kurang tepat untuk me- lakukan kegiatan.

Ada dua jenis bintang yang selalu diperhatikan oleh masyarakat setempat berkaitan dengan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya yang di- lakukannya. Kedua kelompok bintang itu disebut oleh masyarakat kepulauan (warga Kelurahan Tongano dan Desa Waitii) bintang "Sangia" (Mars) dan "Limakkoruo" (Jupiter), masyarakat Gondabaru menyebut bintang "Empuno" dan Manto aru", sedangkan masyarakat Tolaki termasuk Desa Lanowulu di Kabupaten Kendari, menyebutnya "Namburi nggorengge" dan "Monunu". Sebenarnya, masih ada beberapa badan bintang yang juga diperhatikan oleh masyarakat setempat, tetapi tidak seperti ke- dua kelompok bintang itu. Benda bintang lain itu, antara lain adalah "Fituo ndea" (Venus saat pagi hari), "Fituo nuana morunga" (Venus saat senja hari), "Awu-awu" (Merkurius), dan "Fituo boleso" (Bintang jatuh). Kelompok bintang "Sangia" sering pula disebut "Fituo meha" atau bintang merah karena warnanya tampak merah menyala dibanding kelompok bintang lainnya. Kelompok bintang ini terdiri atas tiga bintang, yaitu "Sangia" (Mars) itu sendiri, dan dua bintang lainnya disebut "Lembata 1 " dan "Lembata 2" (Phobos dan Deimos). Badan bintang lainnya adalah komba (Orion), pombahora (Pleiades) dan wetika (Taurus).

Sulawesi Selatan[sunting | sunting sumber]

Matahari dalam kehidupan masyarakat Bugis dipercayai dan diyakini sebagai suatu tanda-tanda alam yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya manusia dalam mencapai cita-cita dan harapan- nya. Menurut catatan kuno dalam naskah lontara', pengistilahan ma- tahari identik dengan kata "walinono", "tikka", dan "esso".

Masyarakat Bugis mengenal peredaran matahari dalam tiga kategori dasar, yaitu peredaran matahari dalam perputaran tahunan, peredaran matahari da- lam perputaran bulanan, serta peredaran matahari dalam perputaran harian. Peredaran matahari dalam perputaran tahunan disebut "bilanna taunnge". Menurut konsep tersebut, waktu setahun dibagi menjadi 8 (delapan) bagian.

  • Tuttong Pajae dan Bawi (Venus) : Tuttong Pajae adakah sebutan Venus yang muncul pada pagi hari sedangkab Bawi saat muncul pada sore hari.
  • Wara-warae (Mars) : Bintang tersebut mempunyai sinar yang terang seperti bara api, munculnya bintang Wara-Warae biasanya diiringi angin kencang, sehingga pada saat itu seringkali terjadi musibah kebakaran.
  • Tanrae (Libra): Masyarakat bugis mengenal sabuk 3 buah bintang, yang posisinya membentuk segitiga dan letaknya berpindah-pindah atau tidak tetap yang digunakan untuk menentukan musim.
  • Manu'e (Scorpius): Gugusan bintang yang terdiri atas enam buah bintang yang posisinya membentuk gambar ayam. Bintang ini dijadikan pedoman untuk mengenal peredaran musim dan cuaca
  • Sulobawie (Merkurius) : Bintang yang dijadikan pedoman oleh petani untuk menentukan saat mulai melakukan pengawasan babi hutan terhadap tanaman di ladang.
  • Walue (Cancer) : Apabila posisi bintang berjajar menghadap ke atas, biasanya para pelaut menunda pelayaran, karena khawatir akan terjangan angin kencang. Apabila posisinya telah berubah menghadap ke bawah, baru mereka mulai berlayar kembali.
  • Eppange (Canis Minor) : Gugusan bintang ini dianggap sebagai tanda mulainya turun hujan.
  • Butte (Orion): dianggap sebagai tanda bahwa ikan-ikan terbang sedang musim bertelur.
  • Lambarue (Aquila): Bentuknya menyerupai ikan pari, digunakan untuk menentukan musim barat dan musim timur.
  • Woromporonge (Taurus) : gugusan bintang yang bentuk- nya mengelompok, terdiri atas 7 buah bintang. Terbitnya bintang ini sering menjadi pedoman bagi pelaut bahwa akan ada tiupan angin kencang.
  • Balue Sallatang (Centauri)
  • Kappala'é (Ursa major)
  • Tellu-tellue (Aries): Bintang ini menjadi pedoman bagi nakhoda kapal/perahu untuk menentukan arah terutama malam hari
  • Mani wennge (Crux) : Berbentuk seperti ikan pari atau ikan hiu merupakan pedoman untuk menentukan arah (timur barat) di malam hari.
  • Bembe'e (Nebula coalsack)
  • Bintoéng Nagaé : Galaksi Bimasakti

Sulawesi Tengah[sunting | sunting sumber]

Menurut kepercayaan setempat, dunia itu seperti telur diujung tanduk kerbau (hewan yang terbesar di Sulawesi Tengah) bilamana kerbau bergoyang entah gatal atau ber- putar, maka terjadilah gempa. Matahari dan bulaj diumpamakan sebagai suami dan istri, dan saat mereka bertemu (membentuk gerhana), masyarakat serentak akan memukul lesung.

Dalam perikanan dan bagi para nelayan, venus dijadikan sebagai pedoman, dan terbagi menjadi dua jenis berdasarkan kemunculannya.

  • Venus tengah malam muncul pada jam 24.00 atau dikenal dengan bintang "Sumunsul tangabeng" memberikan tanda bahwa banyak ikan.
  • Venus pengantar siang "Sumunsul eleo" bintang ini muncul pada waktu menjelang siang pertanda dilaut banyak ikan.

Di daerah sulawesi Tengah lain, pertanda iklim atau keadaan ikan di laut ialah dengan melihat munculnya bintang Te de isa (Pleiades). Bintang Te De Isa yaitu kumpulan dari 7 buah bintang yang bentuknya seperti ikan pari. Bintang to de isa berjumlah 7 buah terdiri dari: Pombote langi 1 buah, Tontoluongu 3 buah dan Pombariolo 3 buah. Dibagian ekor yaitu sebuah bintang berwarna kuning kemerahan seperti bara. Jika bintang ini muncul sebelum matahari maka tanda tidak banyak ikan dan jika muncul setelah tidak ada matahari, maka tanda banyak ikan.

Daerah timur[sunting | sunting sumber]

Biak[sunting | sunting sumber]

Pengetahuan astronomi menjadi bekal masyarakat Suku Biak di Kabupaten Biak Numfor, Papua, dalam menguasai kemampuan navigasi dan bertani. Bahkan masyarakat Biak juga memiliki nama-nama hari dan nama-nama bulannya sendiri. Hal ini dikarenakan biak sangat piawai dan tangguh dalam berlayarnya, bahkan hingga Mikronesia, sehingga masyarakat Biak sering disebut sebagai Vikingnya Papua.[12]

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lisa Febriyanti, seorang peneliti astronomi tradisional, Suku Biak memiliki konsep kosmologi Nanggi sebagai Tuhan langit, yang tidak terlepas dari manusia (manyoa) dan jagat raya (farsyos). Konsep tersebut dibentuk dengan wujud segitiga yang mencakup juga empat ruang lagi di dalamnya yaitu yen baken (ruang material), yen aiwui (ruang para roh dan leluhur), yen arwur (jiwa dan nyawa alam) dan yen koreri (ruang kehidupan dan harapan). Konsep ini terbentuk dari swandebru atau arah barat yang merepresentasikan kelahiran dan penciptaan serta swandiwe atau arah barat sebagai akhiran.[13]

Dari segala banyak benda langit yang dikenali, ada dua benda langit yang paling utama, yaitu romangwandi ("naga air") atau Scorpius serta sawakoi ("burung") atau orion. Suku Biak menganggap bahwa musim teduh (wampasi) ditandai dengan konstelasi Romangkwandi yang berbentuk seperti naga. Sebaliknya, musim angin barat ditandai dengan konstelasi Sawakoi di cakrawala. Hingga kini, mereka memiliki 21 konstelasi bintang, yang juga termasuk berbagai gugus bintang dan planet. Suku Biak tidak menggunakan konstelasi bintang saja. Lainnya, matahari (ori) digunakan untuk menentukan penanggalan lewat peristiwa equinox. Bulan (paik) digunakan untuk menentukan waktu ritual doa inisiasi dan keselamatan ekspedisi laut.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "BRIN - Badan Riset dan Inovasi Nasional". BRIN - Badan Riset dan Inovasi Nasional. Diakses tanggal 2024-05-04. 
  2. ^ Priscila, Agnes. "Keuneunong, Sistem Kalende Persawahan Suku Kluet". www.wacana.co. Diakses tanggal 30 April 2019. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-05-04. 
  4. ^ Laia, Ama Kristin Hilisataro (Jumat, 14 Agustus 2009). "Tuha Harimaoduha: Onainö... Ami Li Moroi ba Gö: Penanggalan Waktu Tradisional Nias Tanöniha". Tuha Harimaoduha. Diakses tanggal 2024-05-04. 
  5. ^ Laia, Ama Kristin Hilisataro (Jumat, 14 Agustus 2009). "Tuha Harimaoduha: Onainö... Ami Li Moroi ba Gö: Penanggalan Waktu Tradisional Nias Tanöniha". Tuha Harimaoduha. Diakses tanggal 2024-05-04. 
  6. ^ Pelawi, dkk (1992), hlm. 88 :"Parhalaan" dapat diartikan sebagai kalender atau penanggalan untuk mengetahui waktu, termasuk nama-nama hari dan nama-nama bulan yang dianggap oleh masyarakat Batak Toba mengandung arti baik maupun arti buruk ...".
  7. ^ Pelawi, dkk (1992), hlm. 88 : “Parhalaan" berasal dari kata hala" ditambah awalan par dan akhiran an ...".
  8. ^ "Bulu Parhalaan". naskahperpusnasindonesiaheritageonline. Diakses tanggal 20 April 2019. [pranala nonaktif permanen]
  9. ^ Kozok (2009), hlm. 52 : “Bulan dihitung dengan mengurutkannya sebagai bulan pertama (bulan sipaha sada), kedua (sipaha dua, dan seterusnya hingga bulam ke sepuluh...".
  10. ^ Gultom (2014), hlm. 202 : “Meski di masa sekarang porhalaan jarang dipergunakan ...".
  11. ^ Nasution, Miftah (11 Desember 2018). "Sipaha Lima: Ritual Bersyukur Para Penganut Ugamo Malim". kemdikbud. Diakses tanggal 20 April 2019. 
  12. ^ SINAGA, TATANG MULYANA (2023-05-25). "Revitalisasi Pengetahuan Astronomi Tradisional". kompas.id. Diakses tanggal 2024-05-04. 
  13. ^ Wiputri, Fiona (2023-06-11). "Suku Biak Punya Astronomi Tradisional Yang Bisa Bicara Soal Manusia dan Perubahan Iklim". Konde.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-04. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]