Balinisasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Balinisasi (Belanda: Baliseering) adalah sebuah upaya para Orientalis Belanda pada akhir 1920an untuk menjaga keutuhan tradisi Bali. Upaya tersebut juga menjadi alat untuk pembelajaran bahasa, sastra dan seni rupa Bali.[1] Asumsi pemerintahan kolonial Belanda adalah agama Hindu merupakan praktik religi kehidupan tradisi dan kesenian masyarakat Bali akan dapat menjamin keutuhan budayanya.

Wacana Balinisasi (Baliseering) yang diterapkan Belanda pasca Puputan Badung tahun 1906 dan Puputan Klungkung tahun 1908 ternyata sebuah upaya melakukan perubahan strategi penjajahan dari politik penaklukkan (perang) menuju politik diplomasi kebudayaan. Salah satu cara mewujudkan diplomasi kebudayaan adalah menjadikan Bali sebagai benteng pertahanan, untuk membendung gelombang radikalisme Islam dan pergerakan nasional Indonesia yang telah memproklamirkan Sumpah Pemuda.

Demikian terungkap dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Paradigma Kepariwisataan Bali Tahun 1930-an: Studi Genealogi Kepariwisataan Budaya” yang dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali Volume 06, nomor 02 tahun 2016. Artikel tersebut ditulis oleh I Made Sendra dari Fakultas Pariwisata Universitas Udayana. I Made Sendra menuliskan wacana kolonial ini merupakan kebijakan politik pragmatis bermuka dua, di satu sisi untuk pemulihan pencitraan dengan mengubah taktik penjajahan dari penaklukan dan perang ke taktik diplomasi budaya. Di sisi lain, wacana ini bertujuan untuk meredam paham nasionalisme Jawa yang dibawa oleh pelajar Bali yang mendapatkan pendidikan di Jawa.

Kebijakan politik etis ini diwujudkan dengan membangun wacana Balinisasi (Baliseering) yang mulai diterapkan pada tahun 1930-an. Tujuan wacana ini adalah mempertahankan Bali sebagai museum hidup (living museum) dari kelanjutan warisan budaya Hindu Majapahit yang mulai punah akibat dari proses Islamisasi di Tanah Jawa pada abad ke-5.

Kebijakan politik etis juga diterapkan untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintah kolonial Belanda sudah berhasil mewujudkan ketertiban dan keamanan (rust en order) di daerah-daerah jajahannya. I Made Sendra dalam analisisnya menyebutkan bahwa Baliseering merupakan antitesis dari gerakan nasionalisme. Artinya, Baliseering merupakan spirit antinasionalisme berbungkus etnosentrisme rekaan kolonial.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Rubinstein, Raechelle; Connor, Linda H. (1999-08-01). Staying Local in the Global Village: Bali in the Twentieth Century (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-2117-3. 
  2. ^ "Baliseering, Strategi Belanda Dari Politik Penaklukan ke Diplomasi". beritabali.com. Diakses tanggal 2023-05-27.