Lompat ke isi

Anak laki-laki menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Anak laki-laki menurut Islam memiliki hak untuk memperoleh pendidikan pra-kelahiran dan akikah pasca-kelahiran. Dalam Islam, manfaat anak laki-laki lebih banyak diterima oleh ayah dibandingkan dengan ibu, meskipun keduanya memperoleh manfaat. Anak laki-laki menurut Islam memiliki kedudukan dalam perwalian pernikahan dan ahli waris.

Hak-hak[sunting | sunting sumber]

Pendidikan pra-kelahiran[sunting | sunting sumber]

Anak laki-laki memiliki hak untuk menerima pendidikan sejak masih dalam kandungan. Pendidikan ini diberikan langsung oleh ibunya selama masa pra-kelahiran. Bentuk pendidikan yang diberikan ialah pendidikan kepribadian untuk pembentukan watak dan karakter anak. Pendidikan pra-kelahiran memiliki kedudukan yang penting karena dapat mempengaruhi anak ketika masa kelahiran. Surah Maryam Ayat 27 dan 28 menjelaskan tentang penurunan sifat dari orang tua pada masa pra-kelahiran. Kondisi ini juga terbukti dalam penemuan-penemuan ilmiah.[1]

Akikah[sunting | sunting sumber]

Bayi laki-laki yang telah lahir dianjurkan untuk menerima akikah pada hari ketujuh sejak kelahirannya. Hukumnya berdasarkan hadis adalah sunnah muakkad. Hewan yang disembelih berupa dua ekor kambing.[2] Pihak yang harus menyediakan hewan sembelihan adalah orang tua dari si anak laki-laki.[3] Anak laki-laki juga disunnahkan untuk berkhitan. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatakan oleh Ath-Thabrani.[4]

Manfaat bagi orang tua[sunting | sunting sumber]

Anak laki-laki memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya. Namun manfaat dari anak laki-laki cenderung lebih banyak diterima oleh ayahnya dibandingkan dengan ibunya. Anak laki-laki diwajibkan membawa nama ayahnya dalam banyak perkara termasuk membelanya dalam peperangan. Manfaat-manfaat yang didapatkan oleh ayah dari anak laki-lakinya ada yang sifatnya tidak dapat diperoleh oleh ibunya. Karena manfaat-manfaat ini, tanggung jawab untuk memberi nafkah kepada anak dibebankan kepada ayah dan bukan pada ibu.[5]

Kedudukan[sunting | sunting sumber]

Perwalian pernikahan[sunting | sunting sumber]

Anak laki-laki dapat menjadi wali yang sah bagi perempuan yang bersaudara kandung dengan ayahnya. Hal yang sama berlaku pula pada anak laki-laki yang ayahnya bersaudara seayah dengan perempuan yang akan menikah. Anak laki-laki lain yang dapat menjadi wali yang sah bagi perempuan ialah anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah si perempuan.[6]

Ahli waris[sunting | sunting sumber]

Anak laki-laki merupakan salah satu anggota dari kelompok ahli waris yang berjenis kelamin laki-laki. Jumlah seluruh anggota ini sebanyak 25 kedudukan. Kedudukan anak laki-laki sebagai ahli waris adalah yang paling pertama. Ahli waris lain yang merupakan anak laki-laki adalah anak laki-laki dari saudara kandung yang laki-laki atau saudara seayah. Urutannya dalam ahli waris adalah yang ke-8 dan ke-9. Anak laki-laki lain yang juga menjadi ahli waris ialah anak laki-laki dari paman pihak ayah yang bersaudara kandung, dan paman pihak ayah yang seayah. Kedudukannya sebagai ahli waris yang ke-12 dan ke-13.[7] Anak laki-laki kandung menjadi ahli waris utama bila kedua puluh lima ahli waris masih ada. Keberadaan anak laki-laki kandung pada kondisi ini membuat pewarisan harta ke ahli waris lain terhalang.[8]

Anak laki-laki juga menerima warisan ketika ada anak perempuan.[8] Sementara itu, cucu perempuan dari anak laki-laki juga dapat menjadi ahli waris. Kedudukannya sebagai salah satu dari sepuluh kedudukan ahli waris berjenis kelamin perempuan.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Gade 2019, hlm. 24.
  2. ^ Gade 2019, hlm. 24-25.
  3. ^ Gade 2019, hlm. 183.
  4. ^ Gade 2019, hlm. 135-136.
  5. ^ Salam, Al-'Izz bin Abdus (2015). Hasmand, Fedrian, ed. Jawaban Pertanyaan Rumit dalam Islam [Al-Ajwibah Al-Qathi'ah Lihujaj Al-Khushum Lial-As'ilah Al-Waqi'ah Fi Kulli Al-Ulum]. Diterjemahkan oleh Irham, Masturi. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 24. ISBN 978-979-592-922-2. 
  6. ^ Burhanuddin TR. 2016, hlm. 189.
  7. ^ Burhanuddin TR. 2016, hlm. 214-215.
  8. ^ a b c Burhanuddin TR. 2016, hlm. 215.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]