Teknologi reproduksi berbantuan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Teknologi reproduksi berbantuan
Intervensi
Ilustrasi yang menggambarkan injeksi sperma intrasitoplasmik (ICSI), salah satu contoh teknologi reproduksi berbantuan.
MeSHD027724

Teknologi reproduksi berbantuan (Inggris: assisted reproductive technology, ART), disingkat TRB, adalah teknologi yang digunakan untuk mendapatkan kehamilan dengan menggunakan prosedur seperti pengobatan fertilitas, fertilisasi in vitro ("bayi tabung", IVF), dan surogasi. Teknologi reproduksi ini utamanya digunakan untuk perawatan infertilitas atau ketidaksuburan, dan juga dikenal sebagai "perawatan fertilitas". Teknologi ini secara khusus termasuk dalam bidang infertilitas dan endrokinologi reproduksi, dan mungkin juga meliputi injeksi sperma intrasitoplasmik (ICSI) dan kriopreservasi. Beberapa bentuk TRB juga digunakan dengan melibatkan pasangan subur karena alasan genetik (diagnosis genetik praimplantasi). TRB juga digunakan pada pasangan yang dianggap berselisih karena penyakit menular tertentu; HIV misalnya untuk mengurangi risiko infeksi apabila kehamilan diinginkan.

Risiko[sunting | sunting sumber]

Dikatakan bahwa kebanyakan bayi yang dikandung menggunakan metode IVF ("bayi tabung") tidak memiliki kelainan bawaan atau cacat lahir.[1] Tetapi, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa teknologi reproduksi berbantu meningkatkan risiko cacat lahir.[2][3] Dalam penelitian dengan skala terluas di Amerika Serikat, yang menggunakan data registrasi cacat lahir dari seluruh negara bagian,[4] 6,2% anak yang dikandung dengan IVF memiliki cacat besar, dibandingkan dengan 4,4% anak yang dikandung secara alami menggunakan kesesuaian data usia maternal dan faktor lainnya (rasio peluang 1,3; interval kepercayaan 95%, 1,00-1,67).[1] TRB disertai dengan risiko mengalami kehamilan heterotopik (kehamilan di luar rahim dan di dalam rahim secara bersamaan).[5]

Risiko-risiko yang utama misalnya:

Faktor risiko yang lain misalnya:

Data saat ini menunjukkan sedikit atau tidak ada peningkatan risiko depresi pasca persalinan di antara para wanita yang menggunakan TRB.[8]

Penggunaan teknologi reproduksi berbantu seperti stimulasi ovarium dan fertilisasi in vitro diasosiasikan dengan peningkatan risiko keseluruhan kanker pada anak dalam keturunan yang dihasilkan, yang mungkin disebabkan oleh penyakit awal yang sama ataupun kondisi yang menyebabkan infertilitas atau subfertilitas pada sang ibu atau sang ayah.[9]

Penggunaan[sunting | sunting sumber]

Prosedur-prosedur teknologi reproduksi dengan bantuan yang dilakukan di Amerika Serikat dilaporkan meningkat dua kali lipat selama 10 tahun terakhir, dengan 140.000 prosedur yang dilakukan pada tahun 2006,[10] menghasilkan 55.000 kelahiran.[10]

Di Australia, dikabarkan bahwa 3,1% kelahiran merupakan hasil TRB.[11]

Dalam kasus penghentian perawatan fertilitas, diperkirakan bahwa alasan-alasan yang paling umum adalah: penundaan perawatan (39%), beban psikologis maupun fisik (19%, beban psikologis 14%, beban fisik 6,32%), masalah pribadi maupun relasional (17%, masalah pribadi 9%, masalah realsional 9%), penolakan terhadap perawatan (13%), serta masalah-masalah pada organisasi (12%) dan klinik (8%).[12]

Etika[sunting | sunting sumber]

Sejumlah pasangan merasa sulit untuk menghentikan perawatan yang dilakukan meski prognosisnya sangat buruk, sehingga berakhir pada kesia-siaan. Hal ini mungkin memberikan para penyedia jasa TRB suatu keputusan yang sulit apakah akan melanjutkan atau menolak perawatan.[13]

Sejumlah teknologi reproduksi berbantuan sebenarnya dapat membahayakan sang ibu maupun anaknya. Terdapat risiko kesehatan fisik dan juga psikologis, yang dapat berdampak pada pelaksanaan perawatan yang sedang berlangsung. Semua efek yang merugikan dapat mengakibatkan kekhawatiran, dan seharusnya diatur secara ketat agar kandidat yang tidak siap secara fisik maupun mental tidak diperkenankan untuk menjalani perawatan.[14]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b (Inggris) Van Voorhis BJ (2007). "Clinical practice. In vitro fertilization". N Engl J Med. 356 (4): 379–86. doi:10.1056/NEJMcp065743. PMID 17251534. 
  2. ^ (Inggris) Kurinczuk JJ, Hansen M, Bower C (2004). "The risk of birth defects in children born after assisted reproductive technologies". Current Opinion in Obstetrics and Gynecology. 16 (3): 201–9. doi:10.1097/00001703-200406000-00002. PMID 15129049. 
  3. ^ (Inggris) Hansen M, Bower C, Milne E, de Klerk N, Kurinczuk JJ (2005). "Assisted reproductive technologies and the risk of birth defects—a systematic review" (PDF). Hum Reprod. 20 (2): 328–38. doi:10.1093/humrep/deh593. PMID 15567881. 
  4. ^ (Inggris) Olson CK, Keppler-Noreuil KM, Romitti PA, Budelier WT, Ryan G, Sparks AE, Van Voorhis BJ (2005). "In vitro fertilization is associated with an increase in major birth defects". Fertil Steril. 84 (5): 1308–15. doi:10.1016/j.fertnstert.2005.03.086. PMID 16275219. 
  5. ^ (Inggris) MD, Daniel M. Avery, MD, Marion D. Reed, MD, William L. Lenahan,. "What you should know about heterotopic pregnancy : OBG Management". www.obgmanagement.com. Diakses tanggal 2016-07-28. 
  6. ^ a b (Inggris) Zhang Y, Zhang YL, Feng C, et al. (September 2008). "Comparative proteomic analysis of human placenta derived from assisted reproductive technology". Proteomics. 8 (20): 4344–56. doi:10.1002/pmic.200800294. PMID 18792929. 
  7. ^ (Inggris) Hvidtjørn D, Schieve L, Schendel D, Jacobsson B, Sværke C, Thorsen P (2009). "Cerebral palsy, autism spectrum disorders, and developmental delay in children born after assisted conception: a systematic review and meta-analysis". Arch Pediatr Adolesc Med. 163 (1): 72–83. doi:10.1001/archpediatrics.2008.507. PMID 19124707. 
  8. ^ (Inggris) Ross, L. E.; McQueen, K.; Vigod, S.; Dennis, C.-L. (2010). "Risk for postpartum depression associated with assisted reproductive technologies and multiple births: A systematic review". Human Reproduction Update. 17 (1): 96–106. doi:10.1093/humupd/dmq025. PMID 20605900. 
  9. ^ (Inggris) Hargreave, Marie; Jensen, Allan; Toender, Anita; Andersen, Klaus Kaae; Kjaer, Susanne Krüger (2013). "Fertility treatment and childhood cancer risk: A systematic meta-analysis". Fertility and Sterility. 100 (1): 150–61. doi:10.1016/j.fertnstert.2013.03.017. PMID 23562045. 
  10. ^ a b (Inggris) chicagotribune.com Infertility by the numbers Diarsipkan 2009-07-05 di Wayback Machine. Colleen Mastony. June 21, 2009
  11. ^ (Inggris) 'More IVF babies but less multiple births' Diarsipkan 2009-09-24 di Wayback Machine. THE AUSTRALIAN. September 24, 2009
  12. ^ (Inggris) Gameiro, S.; Boivin, J.; Peronace, L.; Verhaak, C. M. (2012). "Why do patients discontinue fertility treatment? A systematic review of reasons and predictors of discontinuation in fertility treatment". Human Reproduction Update. 18 (6): 652–69. doi:10.1093/humupd/dms031. PMC 3461967alt=Dapat diakses gratis. PMID 22869759. 
  13. ^ (Inggris) Ethics Committee of the American Society for Reproductive Medicine (2009). "Fertility treatment when the prognosis is very poor or futile". Fertility and Sterility. 92 (4): 1194–7. doi:10.1016/j.fertnstert.2009.07.979. PMID 19726040. 
  14. ^ (Inggris) Noah, Lars (2003). "Assisted Reproductive Technologies and the Pitfalls of Unregulated Biomedical Innovation". Florida Law Review. 55 (2): 604–609.