Tirtayasa dari Banten

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Sultan Ageng Tirtayasa)
Tirtayasa
(Abu al-Fath 'Abdul-Fattah)
Lukisan Sultan Ageng Tirtayasa Karya Kang Alam
Sultan Banten ke-6
Berkuasa1651–1683
PendahuluAbu al-Ma'ali Ahmad dari Banten
PenerusHaji dari Banten
Informasi pribadi
Kelahiran1631
Kesultanan Banten Kesultanan Banten
Kematian1692
Belanda Batavia, Hindia Belanda
Pemakaman
Pemakaman Kenari, Kota Kuno Banten, Kota Serang
WangsaAnggawi al-Hasani
AyahAbu al-Ma'ali Ahmad dari Banten
AnakHaji dari Banten
Pangeran Purbaya
dan lainnya
AgamaSunni Islam

Tirtayasa dari Banten (lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60–61 tahun)[1][2] adalah sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya[3] yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.[4] Pada tahun 2017 sutradara Darwin Mahesa mengangkat film Tirtayasa The Sultan of Banten bergenre dokudrama yang diproduksi oleh Kremov Pictures.[5]

Biografi[sunting | sunting sumber]

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten periode 16401650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sulthan 'Abdul-Fattah al-Mafaqih.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Banten mencapai masa kejayaanya. Ia berusaha keras melakukan modernisasi terhadap Banten dan menjadikannya sebagai pusat kegiatan Muslim di Kepulauan Indonesia. Dia mengirim putranya ke Mekah dengan perintah untuk pergi dari sana ke Turki dengan harapan dapat menjalin hubungan baik dengan kekuatan utama Islam. Pada saat itu juga, ia dan putranya mencoba menghimpun pengikut di kalangan para penasihat dan petualang Eropa.[6]

Prestasi terbesar dalam pemerintahannya adalah penataan perdagangan luar negeri. Seperti raja Makassar, ia menyambut baik pedagang dari Britania, Denmark, Prancis di pelabuhan-pelabuhannya. Melalui bantuan-bantuan orang Eropa ini dia mulai melengkapi kapal-kapalnya sendiri yang dibawa nahkoda asal Eropa berlayar ke Filipina, Makau, Benggala, dan Persia. Saudagar-saudagar India, Cina, dan Arab berkumpul di Banten setelah tersingkir dari Malaka dan Makassar. Barang dagangan yang dijual di pasar Batavia sebagian datang dari pelabuhan pesaing di Banten dan gengsi Sultan Tirtayasa naik begitu tinggi sehingga ia menuntut bagian dalam perdagangan pala di Ambon dan dalam perdagangan timah di Semenanjung Malaya, sebuah tuntutan yang ditolak oleh pemerintah di Batavia. Sebelumnya, bahkan bukan di zaman sebelum kedatangan Portugis, perdagangan yang begitu luas terjadi di suatu pelabuhan Indonesia seperti di Banten pada waktu di mana VOC sedang berada di puncak kekuatannya.[6]

Perjuangan[sunting | sunting sumber]

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 16511683. Dia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia (Nusantara).

Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.[butuh rujukan]

Di bidang keagamaan, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti sekaligus penasehat kesultanan. Ia juga memberikan kepercayaan kepada Syekh Yusuf untuk mendidik anak-anaknya tentang agama. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga menikahkan putrinya yang bernama Siti Syarifah dengan Syaikh Yusuf.[7]

Ketika terjadi sengketa dengan putra mahkota, Sultan Haji dan ( pangeran purbaya ), Belanda ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

Hubungan diplomatik[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan negara lain di luar Nusantara. Banten menjalin hubungan dengan Turki, Inggris, Aceh, Makassar, Arab, dan kerajaan lain.[8][9]

Banten dan kerajaan Nusantara lain[sunting | sunting sumber]

Sekitar tahun 1677, Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan Makassar, Bangka, Cirebon dan Inderapura.[10]

Banten dan Prancis[sunting | sunting sumber]

Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropa selain Belanda, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.

Pada tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengutus François Caron, pimpinan Kongsi Dagang Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran ke Nusantara. Setelah mendarat di pelabuhan Banten, ia diterima oleh Syahbandar Kaytsu, seorang Tionghoa muslim. Pada 16 Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan mendatangi kediaman orang-orang Prancis di kawasan Pecinan. Caron meminta izin untuk membuka kantor perwakilan di Banten. Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja pada VOC dan berambisi membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC.[11] Raja kemudian menanyakan tujuan kongsi dagang mereka, ke mana tujuan kapal-kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai yang mereka miliki. Sesudah itu pihak Prancis berusaha menjual barang muatan mereka. Barang-barang dagangan apa saja dapat dijual, kecuali candu yang dilarang keras beredar di Banten.

Caron kembali mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang dibawa dari Surat, India), dua belas pucuk senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan hadiah lain.

Caron dan Gubernur Banten kemudian menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh kesepakatan mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis, sama dengan yang diberikan kepada pihak Inggris.[12]

Banten dan Inggris[sunting | sunting sumber]

Hubungan baik antara Inggris dan Banten sudah terjalin sejak lama, salah satunya adalah ketika Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan surat ucapan selamat pada tahun 1602 kepada Kerajaan Inggris atas dinobatkannya Charles I sebagai Raja Inggris. Sultan Abdul Mafakhir juga memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai akhir masa penerintahan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1682, karena saat itu terjadi perang saudara antara Sultan dengan putranya, Sultan Haji. Sultan Haji meminta bantuan Belanda, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa diketahui meminta bantuan dari Kerajaan Inggris untuk melawan kekuatan anaknya itu.[13][14]

Pada 1681, Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat membeli senapan sebanyak 4.000 pucuk dan peluru sebanyak 5.000 butir dari Inggris. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana. Tidak lama kemudian, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan putranya yang dibantu VOC.[15]

Keluarga[sunting | sunting sumber]

Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 18 orang putera:[16][17]

  1. Sultan Abu Nashar Abdulqahar
  2. Pangeran Purbaya
  3. Tubagus Abdul
  4. Tubagus Rajaputra
  5. Tubagus Husaen
  6. Tubagus Ingayudadipura
  7. Raden Mandaraka
  8. Raden Saleh
  9. Raden Rum
  10. Raden Sugiri
  11. Raden Muhammad
  12. Tubagus Rajasuta
  13. Raden Muhsin
  14. Arya Abdulalim
  15. Tubagus Muhammad Athif
  16. Tubagus Wetan
  17. Tubagus Kulon
  18. Raden Mesir

Kematian dan penghargaan[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.

Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1 Agustus 1970.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan tinggi negeri di Banten, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Nasab[sunting | sunting sumber]

Kajian Manaqib Sayyid Yusuf Al-Anggawi Al-Hasani Songenep[sunting | sunting sumber][sunting | sunting sumber][sunting | sunting sumber][sunting | sunting sumber][sunting | sunting sumber][sunting | sunting sumber]

Salah satu keturunan Syarif Qatadah yang hijrah ke Nusantara dan sudah terverifikasi adalah Syarif Yusuf Al-Anggawi. Tokoh ini hidup sezaman dengan Maulana Yusuf Kesultanan Banten. Adapun nasab beliau adalah Jamaluddin Abul Mahasin Yusuf bin Ali bin Abdullah bin Jarullah Abdul Aziz bin Muhammad bin Athifah bin Abi Dzabih Muhammad bin Abi Nami bin Hasan bin Ali bin Qafadah bin Idris bin Mutha’in bin Abdul Karim bin Isa bin Husin bin Sulaiman bin Ali bin Abdullah bin Imam Muhammad Ats-Tsa-ir bin Musa bin Abdullah Al-kiram bin Musa Al-jaun bin Imam Abdullah Al-kamil bin Imam Husin Al-Mutsanni bin Imam Hasan As-sibith bin Imam Ali bin Abi Thalib.

Manaqib Syarif Yusuf Al-Anggawi Al-Hasani Songenep ditulis oleh Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan dan Habib Alwi bin Abi Bakri bin Bil Faqqi. Karena disusun oleh seorang ahli sejarah dan nasab yang terkemuka maka silsilah keluarga Al-Anggawi ini sangat sahih.

Syarif Yusuf Al-Anggawi dimakamkan di Songenep. Makam beliau dikeramatkan dan konon bisa menebak umur peziarahnya. Makam ini juga memiliki karomah seperti makam Adipati Tejo Kusumo Lasem yang sama-sama tidak bisa diberi atap. Makam ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Sumenep sehingga sering diziarahi oleh keluarga kesultanan.

Jika merunut sejarah, Kesultanan Sumenep didirikan oleh seorang tokoh bernama Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro. Tumenggung Tirtonegoro sendiri adalah putra bungsu dari Tumenggung Kartonegoro (penguasa Lumajang). Beliau dibawa ke Sumenep pasca gugurnya Adipati Malayakusuma dan runtuhnya Kota Malang ke tangan VOC. Tumenggung Kartonegoro sendiri oleh sejarah disebut sebagai putra Untung Suropati. Karena Tumenggung Kartonegoro adalah putra tertua maka tentu beliau bukanlah putra asli dari Untung Suropati melainkan putra Pangeran Purbaya. Hal ini terjadi karena Untung Suropati membawa istri Pangeran Purbaya yaitu Gusik Kusuma dalam keadaan hamil. Bukti lainnya adalah nama asli dari Tumenggung Kartonegoro yaitu Purbakara. Nama ini tentu identik dengan nama Purbaya. Dan bukti ini kemudian dikuatkan dengan penggunaan kata Kusuma yang dipakai oleh anak keturunannya mulai Malayakusuma, Tejakusuma hingga Hadi Kusuma dan Surya Kusuma.

Data lain yang bisa menjadi pembanding adalah keberadaan makam Mbah Honggo Kusumo di Kayutangan Malang. Makam ini masih terhitung cucu dengan Tumenggung Kartonegoro. Nama Honggo Kusumo menjadi petunjuk keberadaan marga Anggawi al-Hasani yang kemudian bertemu dengan trah penguasa Surabaya yaitu Adipati Mas Joyodirono Onggowongso. Kebetulan makam beliau ada di Botoputih dan satu komplek dengan makam Sultan Banten terakhir.

Dari kajian itu maka kita bisa menyusun nasab Sultan Ageng Tirtayasa sebagai berikut :

  • Kanjeng Nabi Muhammad SAW
  • Syarifah Fatimah Az-Zahra
  • Imam Hasan As-sibith
  • Syarif Hasan Al-Mutsanna (Syarif Mekah ke-1)
  • Syarif Abdullah Al-kamil / Al-mahdi (Syarif Mekah ke-3)
  • Syarif Musa Al-jaun (Syarif Mekah ke-7)
  • Syarif Abdullah Al-kiram (Syarif Mekah ke-9)
  • Syarif Musa (Syarif Mekah ke-12)
  • Syarif Muhammad Ats-Tsa-ir (Syarif Mekah ke-21)
  • Syarif Abdullah (Syarif Mekah ke-22)
  • Ali
  • Sulaiman
  • Husin
  • Isa
  • Abdul Karim
  • Mutha’in
  • Idris
  • Syarif Mekah Qatadah (Syarif Mekah ke-43)
  • Ali
  • Hasan
  • Abi Nami
  • Abi Dzabih Muhammad
  • Athifah
  • Muhammad
  • Jarullah Abdul Aziz
  • Syarif Abdullah (Sultan Malaka)
  • Maulana Syarif Hidayatullah (Pendiri Kesultanan Banten)
  • Maulana Hasanuddin
  • Maulana Yusuf
  • Maulana Muhammad
  • Abu Al-Mafakir
  • Abu Al-Ma'ali Ahmad
  • Sultan Ageng Tirtayasa

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Abulfatah Agung | sultan of Bantam". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-15. 
  2. ^ Liputan6.com (2023-08-17). "Profil Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Surya Pembawa Kesuksesan Kesultanan Banten". liputan6.com. Diakses tanggal 2023-10-29. 
  3. ^ Pada tahun 1636 Syarif Mekah dengan otorisasi Kesultanan Utsmaniyah memberikan pengesahan gelar Sultan kepada Abdul Mafakhir beserta sang putra mahkota, Abu al-Ma'ali Ahmad, penggelaran tersebut secara administratif membagi pembagian tugas sang putra Mahkota sebagai Sultan Wakil (Sultan Muda) yang membantu mengurus urusan dalam negeri Banten. Dan Sedangkan Sultan Penuh lebih mengurus urusan luar negeri Banten.
  4. ^ "SEJARAH KESULTANAN BANTEN DARI MASA KE MASA". Website Resmi Kesultanan Banten (dalam bahasa Inggris). 2016-12-06. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-08. Diakses tanggal 2017-04-15. 
  5. ^ Arbi, Aas (2017-08-13). "Garap Tirtayasa-The Sultan of Banten, Kremov Pictures Gandeng Aktor Nasional". radarbanten.co.id. Diakses tanggal 2021-02-01. 
  6. ^ a b H. M. Vlekke, Bernard (2022). Nusantara, Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 164–165. ISBN 978-602-6208-06-4. 
  7. ^ Islam, M. Adib Misbachul (2019). Rahasia Segala Rahasia: Ajaran Sufistik Syaikh Yusuf Makassar (PDF). Jakarta: Perpustakaan Nasional Indonesia. hlm. 11. ISBN 978-623-200-209-8. 
  8. ^ Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
  9. ^ Anthony Reid, (1993), Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450 - 1680 jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, Yayasan Obor, ISBN 978-979-461-330-6
  10. ^ "Sultan Ageng Tirtayasa - Profil | merdeka.com". Merdeka.com. Diakses tanggal 2017-04-15. 
  11. ^ "Jejak Orang Prancis di Kesultanan Banten". historia.id. Diakses tanggal 2017-04-15. 
  12. ^ TokohIndonesia.com. "Biografi Sultan Ageng Tirtayasa - Foto, Video, Riwayat Hidup - Melawan Monopoli Belanda - Pahlawan - Biografi Tokoh Indonesia". www.tokohindonesia.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-16. Diakses tanggal 2017-04-15. 
  13. ^ "Sejarah Islam di Inggris yang Terlupakan | VivaForum". VIVA.co.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-16. Diakses tanggal 2017-04-15. 
  14. ^ Hits, Banten Hits | Tangerang. "Sultan Ageng Tirtayasa "Curhat" ke Raja Inggris saat "Galau" Berperang dengan Anaknya - Situs Berita Banten". www.bantenhits.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-16. Diakses tanggal 2017-04-15. 
  15. ^ "Kilas Balik Hubungan Diplomatik Kesultanan Banten dan Inggris". MerahPutih. Diakses tanggal 2017-04-15. 
  16. ^ "Sultan Agung Tirtajasa". geni_family_tree (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-15. 
  17. ^ "Silsilah Pangeran Jakfaruddin / Tubagus Jakfaruddin berdasarkan Ranji Silsilah Kesultanan Banten | Ranji Sarkub". Ranji Sarkub. 2016-05-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-16. Diakses tanggal 2017-04-15. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Didahului oleh:
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad
Sultan Banten
1651 - 1683
Diteruskan oleh:
Sultan Haji