Meningitis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Meningitis
Meninges sistem saraf pusat: dura mater, arachnoid, dan pia mater.
Informasi umum
SpesialisasiNeurologi, penyakit menular Sunting ini di Wikidata

Meningitis atau radang selaput otak adalah radang pada membran yang menyelubungi otak dan sumsum tulang belakang, yang secara kesatuan disebut meningen.[1] Radang dapat disebabkan oleh infeksi oleh virus, bakteri, atau juga mikroorganisme lain, dan walaupun jarang dapat disebabkan oleh obat tertentu.[2] Meningitis dapat menyebabkan kematian karena radang yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang; sehingga kondisi ini diklasifikasikan sebagai kedaruratan medis.[1][3]

Gejala umum dari meningitis adalah sakit kepala dan leher kaku disertai oleh demam, kebingungan atau perubahan kesadaran, muntah, dan kepekaan terhadap cahaya (fotofobia) atau suara keras (fonofobia). Anak-anak biasanya hanya menunjukkan gejala nonspesifik, seperti lekas marah dan mengantuk. Adanya ruam merah dapat memberikan petunjuk penyebab dari meningitis; contohnya, meningitis yang disebabkan oleh bakteri meningokokus dapat ditunjukkan oleh adanya ruam merah.[1][4]

Tindakan punksi lumbal dilakukan untuk mendiagnosis ada tidaknya meningitis. Jarum dimasukkan ke dalam kanalis spinalis untuk mengambil sampel likuor serebrospinalis (LCS), yang menyelubungi otak dan sumsum tulang belakang. LCS diperiksa di laboratorium medis.[3] Penanganan pertama pada meningitis akut terdiri dari pemberian secara tepat berbagai antibiotik dan kadang-kadang obat antivirus. Kortikosteroid juga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya komplikasi karena radang yang berlebihan.[3][4] Meningitis dapat mengakibatkan konsekuensi jangka panjang seperti ketulian, epilepsi, hidrosefalus dan defisit kognitif, terutama bila tidak dirawat dengan cepat.[1][4] Beberapa jenis meningitis (misalnya yang berhubungan dengan meningokokus, Haemophilus influenzae type B, pneumokokus atau infeksi virus mumps) dapat dicegah oleh imunisasi.[1]

Tanda-tanda dan gejala[sunting | sunting sumber]

Gejala klinis[sunting | sunting sumber]

Kaku leher, epidemi meningitis di Texas pada tahun 1911–12.

Pada orang dewasa, gejala meningitis yang paling sering adalah sakit kepala hebat, yang terjadi pada hampir 90% kasus meningitis bakterial, diikuti oleh kaku kuduk (ketidakmampuan untuk menggerakkan leher ke depan karena terjadi peningkatan tonus otot leher dan kekakuan).[5] Triad klasik dari tanda-tanda meningitis adalah kaku kuduk, demam tinggi tiba-tiba, dan perubahan status mental; namun, ketiga ciri-ciri ini hanya muncul pada 44–46% kasus meningitis bakteri.[5][6] Jika tidak terdapat satu pun dari ketiga gejala tersebut, dapat dikatakan bukan meningitis.[6] Ciri lain yang dihubungkan dengan meningitis termasuk fotofobia (intoleransi terhadap cahaya terang) dan fonofobia(intoleransi terhadap suara keras). Pada anak kecil, gejala yang telah disebutkan di atas sering kali tidak tampak, dan dapat hanya berupa rewel dan kelihatan tidak sehat.[1] Ubun-ubun (bagian lembut di bagian atas kepala bayi) dapat menonjol pada bayi berusia hingga 6 bulan. Ciri lain yang membedakan meningitis dari penyakit lain yang tidak berbahaya pada anak adalah nyeri kaki, kaki-tangan yang dingin, dan warna kulit abnormal.[7][8]

Kaku kuduk terjadi pada 70% pasien meningitis bakteri pada dewasa.[6] Tanda lain dari meningismus adalah "Kernig's sign" atau "Brudziński sign" yang positif. Untuk pemeriksaan "Kernig's sign" pasien dibaringkan telentang, dengan panggul dan lutut difleksikan membuat sudut 90 derajat. Pada pasien dengan "Kernig’s sign” yang positif, rasa nyeri akan membatasi ekstensi lutut secara pasif. Tanda "Brudzinski" positif apabila fleksi pada leher menyebabkan fleksi pada lutut dan panggul secara involunter. Meskipun "Kernig's sign" dan "Brudzinski’s sign" sering digunakan untuk menegakkan diagnosis meningitis, sensitivitas kedua pemeriksaan ini terbatas.[6][9] Walaupun demikian, kedua pemeriksaan ini mempunyai spesifisitas yang baik untuk meningitis: tanda ini jarang ada pada penyakit lain.[6] Pemeriksaan lain, yang dikenal sebagai "jolt accentuation maneuver" membantu menentukan apakah terdapat meningitis pada pasien yang mengeluh demam dan sakit kepala. Orang tersebut diminta untuk memutar kepalanya ke arah horizontal dengan cepat; jika sakit kepala tidak bertambah buruk, artinya bukan meningitis.[6]

Meningitis yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis (dikenal sebagai "meningitis meningokokus") dapat dibedakan dengan jenis meningitis lain apabila ruam ruam petechial menyebar dengan cepat, yang dapat timbul sebelum timbul gejala lain.[7] Ruam ini berupa bintik kecil dan banyak, tidak beraturan berwarna merah atau ungu ("petechiae") di badan, anggota badan bagian bawah, membran mukosa, konjungtiva, dan (kadang-kadang) telapak tangan dan telapak kaki. Ruam biasanya tidak memucat; warna merahnya tidak memudar saat ditekan dengan jari atau batang gelas. Walaupun ruam tidak selalu timbul pada meningitis meningokokus, ruam ini cukup spesifik untuk meningitis meningokokus; namun ruam kadang-kadang juga dapat timbul pada meningitis yang disebabkan oleh bakteri lain.[1] Ciri lain yang dapat membantu menentukan penyebab meningitis adalah tanda pada kulit yang disebabkan oleh penyakit tangan, kaki dan mulut dan herpes genitalis, yang keduanya berhubungan dengan beberapa bentuk meningitis virus.[10]

Komplikasi dini[sunting | sunting sumber]

Charlotte Cleverley-Bisman menderita meningitis meningokokus yang parah ketika masih anak-anak, pada kasusnya, ruam petechial memburuk menjadi gangren sehingga semua anggota badannya harus diamputasi. Dia berhasil sembuh dan gambarnya dipasang pada kampanye vaksinasi meningitis di Selandia Baru.

Masalah lain dapat muncul pada tahap awal perjalanan penyakit. Hal ini memerlukan tata laksana khusus, dan kadang-kadang merupakan petunjuk penyakit yang berat atau prognosis yang lebih jelek. Infeksi dapat memicu sepsis, suatu sindrom respons radang sistemik dimana terjadi penurunan tekanan darah, denyut jantung cepat, suhu tubuh abnormal yang tinggi atau rendah, dan peningkatan laju napas. Tekanan darah yang sangat rendah dapat muncul pada tahap awal, khususnya namun tidak eksklusif pada meningitis meningokokus; yang akan mengakibatkan kurangnya suplai darah bagi organ lain.[1] Koagulasi intravaskular diseminata, yang merupakan aktivasi berlebihan dari pembekuan darah, dapat mengobstruksi aliran darah ke organ dan secara paradoks meningkatkan risiko pendarahan. Gangren pada anggota badan terjadi pada pasien penyakit meningokokus.[1]:Infeksi meningokokus dan pneumokokus dapat menyebabkan perdarahan kelenjar adrenal, sehingga menyebabkan sindrom Waterhouse-Friderichsen, yang sering kali mematikan.[11]

Dengan jaringan otak membengkak, tekanan di dalam tengkorak akan meningkat dan otak yang membengkak dapat mengalami herniasi melalui dasar tengkorak. Hal ini terlihat dari menurunnya kesadaran, hilangnya refleks pupil terhadap cahaya, dan postur tubuh abnormal.[4] Terjadinya ini pada jaringan otak juga dapat menyumbat aliran normal LCS di otak (hidrosefalus).[4] Kejang dapat terjadi karena berbagai penyebab; pada anak, kejang biasanya terjadi pada tahap awal meningitis (30% kasus) dan tidak selalu menunjukkan adanya penyakit yang mendasari.[3] Kejang disebabkan oleh peningkatan tekanan dan luasan daerah radang di otak.[4] Kejang parsial (kejang yang melibatkan salah satu anggota badan atau sebagian tubuh), kejang terus menerus, kejang pada orang dewasa dan yang sulit terkontrol dengan pemberian obat menunjukkan luaran jangka panjang yang lebih buruk.[1]

Radang meningen dapat menyebabkan abnormallitas pada saraf kranial, kelompok saraf yang berasal dari batang otak yang mensuplai kepala dan leher dan mengontrol, dari berbagai fungsi diantaranya, gerakan mata, otot wajah, dan fungsi pendengaran.[1][6] Gangguan penglihatan dan tuli dapat menetap setelah episode meningitis.[1] Radang pada otak (ensefalitis) atau pembuluh darahnya (vaskulitis serebral), dan juga pembentukan bekuan darah pada vena (penyumbatan vena serebral), dapat menyebabkan kelemahan, hilangnya sensasi, atau gerakan dan fungsi berbagai bagian tubuh yang abnormal, yang disuplai oleh bagian otak yang terkena.[1][4]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Meningitis sering kali disebabkan oleh infeksi oleh mikroorganisme. Sebagian besar infeksi disebabkan oleh virus,[6] dengan bakteri, fungi, dan protozoa sebagai penyebab paling sering berikutnya.[2] Penyakit ini bisa juga disebabkan oleh berbagai penyebab non-infeksi[2] Istilah meningitis aseptik merujuk pada kasus meningitis yang tidak dapat dibuktikan adanya keterlibatan infeksi bakteri. Jenis meningitis ini biasanya disebabkan oleh virus, tetapi keadaan ini dapat juga terjadi apabila infeksi bakteri telah diobati secara parsial sebelumnya, ketika bakteri lenyap dari meninges, atau patogen menginfeksi daerah yang dekat dengan meningen (misalnya sinusitis). Endokarditis (infeksi katup jantung yang menyebarkan gugus-gugus kecil bakteri melalui aliran darah) dapat menyebabkan meningitis aseptik. Meningitis aseptik juga dapat timbul dari infeksi spirochete, jenis bakteri yang diantaranya Treponema pallidum (penyebab sifilis) dan Borrelia burgdorferi (dikenal sebagai penyebab penyakit Lyme). Meningitis dapat dijumpai pada malaria serebral (malaria yang menginfeksi otak) atau meningitis amubik, meningitis yang disebabkan oleh infeksi ameba sepertiNaegleria fowleri, yang didapatkan dari sumber air tawar.[2]

Bakterial[sunting | sunting sumber]

Jenis bakteri penyebab meningitis bakterial bervariasi sesuai kelompok usia individu yang terinfeksi.

  • Pada bayi prematur dan anak baru lahir berusia hingga tiga bulan, penyebab yang sering adalah streptokokus grup B (subtipe III yang biasanya hidup di vagina dan terutama merupakan penyebab pada minggu pertama kehidupan) dan bakteri yang biasanya hidup dalam saluran pencernaan seperti Escherichia coli (membawa antigen K1). Listeria monocytogenes (serotipe IVb) dapat mengenai bayi baru lahir dan menimbulkan epidemi.
  • Pada anak yang lebih besar sering kali disebabkan oleh Neisseria meningitidis (meningokokus) dan Streptococcus pneumoniae (serotipe 6, 9, 14, 18, dan 23) dan untuk balita oleh Haemophilus influenzae type B (di negara-negara yang tidak memberikan vaksinasi).[1][3]
  • Pada orang dewasa, Neisseria meningitidis dan Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab 80% kasus meningitis bakterial. Risiko terinfeksi oleh Listeria monocytogenes meningkat pada orang yang berusia di atas 50 tahun.[3][4] Pemberian vaksin pneumokokus telah menurunkan angka meningitis pneumokokus pada anak dan dewasa.[12]

Trauma pada tengkorak yang belum lama terjadi dapat menyebabkan masuknya bakteri dari rongga hidung ke meningen. Demikian pula halnya dengan alat yang dipasang di dalam otak dan meningen, seperti shunt serebral, drain ekstraventrikular atau reservoir Ommaya, dapat meningkatkan risiko meningitis. Pada kasus ini, pasien lebih cenderung terinfeksi oleh Stafilokokus, Pseudomonas, dan bakteri Gram negatif lainnya.[3] Patogen-patogen ini juga dikaitkan dengan meningitis pada pasien dengan gangguan pada sistem kekebalan.[1] Infeksi pada daerah kepala dan leher, seperti otitis media atau mastoiditis, dapat menyebabkan meningitis pada sebagian kecil orang.[3] Penerima implan koklea untuk kehilangan pendengaran berisiko lebih tinggi untuk menderita meningitis pneumokokus.[13]

Meningitis tuberkulosis, yaitu meningitis yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis, lebih sering dijumpai pada orang yang berasal dari negara dengan tuberkulosis yang masih endemik, tetapi juga dijumpai pada orang yang mempunyai gangguan kekebalan tubuh, seperti AIDS.[14]

Meningitis bakterial rekuren dapat disebabkan oleh defek anatomi yang menetap, baik bersifat kongenital atau didapat, atau akibat kelainan sistem kekebalan.[15] Defek anatomi memungkinkan adanya hubungan antara lingkungan eksternal dengan sistem saraf. Penyebab meningitis rekuren yang paling sering adalah fraktur tengkorak,[15] khususnya fraktur yang mengenai dasar tengkorak atau meluas ke arah sinus dan piramida petrosa.[15] Sekitar 59% kasus meningitis rekuren disebabkan abnormalitas anatomi yang demikian, 36% akibat defisiensi kekebalan (seperti defisiensi komplemen, yang secara khusus cenderung menyebabkan berulangnya meningitis meningokokus), dan 5% disebabkan oleh infeksi berkelanjutan di daerah yang berdekatan dengan meningen.[15]

Virus[sunting | sunting sumber]

Berbagai virus penyebab meningitis mencakup enterovirus, virus Herpes simpleks tipe 2 (dan yang lebih jarang tipe 1), virus Varicella zoster (dikenal sebagai penyebab cacar air dan cacar ular), paromiksovirus, HIV, dan LCMV.[10]

Jamur[sunting | sunting sumber]

Beberapa faktor risiko untuk meningitis jamur, antara lain penggunaan obat imunosupresan (misalnya setelah transplantasi organ), HIV/AIDS,[16] dan hilangnya kekebalan yang berhubungan dengan penuaan.[17] Hal ini jarang dijumpai pada orang dengan sistem kekebalan tubuh normal[18] tetapi telah muncul karena kontaminasi obat.[19] Gejala awal biasanya lebih gradual, dengan adanya sakit kepala dan demam selama setidaknya dua minggu sebelum diagnosis ditegakkan.[17] Meningitis jamur yang paling sering adalah meningitis cryptococcal akibat Cryptococcus neoformans.[20] Di Afrika, meningitis cryptococcal diperkirakan merupakan penyebab meningitis yang paling sering dijumpai [21] dan ini mencakup 20–25% kematian yang berhubungan dengan AIDS di Afrika.[22] Jenis jamur lain yang sering dijumpai adalah spesies Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis, dan Candida.[17]

Parasit[sunting | sunting sumber]

Parasit sebagai penyebab akan dipikirkan apabila terdapat dominasi eosinofil (suatu jenis sel darah putih) dalam likuor serebrospinalis (LCS). Parasit yang paling sering dijumpai adalah Angiostrongylus cantonensis, Gnathostoma spinigerum, Schistosoma, demikian pula kondisi cysticercosis, toxocariasis, baylisascariasis, paragonimiasis, dan sejumlah kondisi infeksi dan kondisi tanpa infeksi yang lebih jarang.[23]

Non-Infeksi[sunting | sunting sumber]

Meningitis dapat timbul akibat beberapa penyebab non-infeksi: penyebaran kanker pada meningen (meningitis neoplastik atau ganas),[24] dan obat-obatan tertentu (utamanya obat anti-inflamasi nonsteroid, antibiotik dan imunoglobulin intravena).[25] Meningitis juga dapat disebabkan oleh beberapa radang, seperti sarkoidosis (yang kemudian disebut neurosarkoidosis), kelainan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik, dan bentuk tertentu seperti vaskulitis (kondisi radang pada dinding pembuluh darah), seperti penyakit Behçet.[2]Kista epidermoid dan kista dermoid dapat menyebabkan meningitis dengan melepaskan iritan ke dalam daerah subarachnoid.[2][15] Meningitis Mollaret merupakan sindrom episode berulangnya meningitis aseptik; yang diduga disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe 2. Walaupun jarang terjadi, migrain dapat menyebabkan meningitis, tetapi diagnosis ini biasanya hanya ditegakkan apabila penyebab lainnya telah disingkirkan.[2]

Mekanisme[sunting | sunting sumber]

Meningen terdiri atas tiga membran yang bersama-sama dengan likuor serebrospinalis, membungkus dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang (sistem saraf pusat). Pia mater merupakan membran kedap air yang sangat halus yang melekat kuat dengan permukaan otak, mengikuti seluruh lika-liku kecilnya. Arachnoid mater (disebut demikian karena bentuknya yang menyerupai sarang laba-laba) merupakan suatu kantong longgar di atas pia mater. Ruang subarachnoid memisahkan membran pia mater dan arachnoid dan terisi dengan cairan likuor serebrospinalis. Membran terluar, dura mater, merupakan membran tebal yang kuat, yang melekat ke membran arachnoid dan ke tengkorak.

Pada meningitis bakterial, bakteri mencapai meningen melalui satu dari dua cara utama: melalui aliran darah atau melalui kontak langsung antara meningen dengan rongga hidung atau kulit. Pada sebagian besar kasus, meningitis terjadi setelah invasi aliran darah oleh organisme yang tinggal pada permukaan mukosa seperti rongga hidung. Hal ini biasanya didahului oleh infeksi virus, yang merusak barier normal dari permukaan mukosa. Sekali bakteri telah memasuki aliran darah, mereka akan masuk ke ruang subarachnoid dimana sawar darah otak bersifat paling rentan—seperti pada pleksus koroidalis. Meningitis muncul pada 25% bayi baru lahir dengan infeksi aliran darah akibat streptokokus grup B; fenomena ini lebih jarang dijumpai pada orang dewasa.[1] Kontaminasi langsung cairan likuor serebrospinalis dapat timbul dari peralatan yang ditanam, fraktur tengkorak, atau infeksi nasofaring atau sinus nasal yang telah membentuk saluran dengan ruang subarachnoid (lihat di atas); adakalanya, cacat kongenital dura mater dapat terindentifikasi.[1]

Peradangan skala besar yang terjadi pada ruang subarachnoid pada saat terjadinya meningitis sering kali tidak secara langsung disebabkan oleh infeksi bakteri tetapi lebih terutama disebabkan oleh respon sistem kekebalan terhadap masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat. Jika komponen membran sel dari bakteri dikenali oleh sel kekebalan otak (astrosit dan mikroglia), mereka akan berespon dengan melepaskan sejumlah besar sitokin, mediator serupa hormon yang merekrut sel kekebalan lain dan merangsang jaringan lain untuk berpartisipasi dalam respon kekebalan. Barier darah–otak menjadi lebih permeabel, sehingga terjadi edema serebri "vasogenik" (pembengkakan otak akibat kebocoran cairan dari pembuluh darah). Sejumlah besar sel darah putih memasuki likuor serebrospinalis (LCS), menyebabkan radang pada meningen sehingga timbul edema "interstisial" (pembengkakan akibat cairan antarsel). Selain itu, dinding pembuluh darah sendiri mengalami peradangan (vaskulitis serebral), yang menyebabkan menurunnya aliran darah dan jenis edema yang ketiga, edema "sitotoksik". Ketiga bentuk edema serebral ini menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial; bersama tekanan darah yang menjadi lebih rendah yang biasa dijumpai pada infeksi akut, ini berarti bahwa darah akan semakin sulit untuk memasuki otak, sebagai konsekuensinya sel-sel otak akan kekurangan oksigen dan mengalami apoptosis (kematian sel otomatis).[1] Telah diketahui bahwa pemberian antibiotik pada awalnya bisa memperburuk proses yang sudah diuraikan di atas, dengan meningkatkan jumlah produk membran sel bakteri yang disebabkan oleh proses penghancuran bakteri. Tata laksana khusus, seperti penggunaan kortikosteroid, ditujukan untuk mengurangi respon sistem kekebalan tubuh terhadap fenomena ini.[1][4]

Diagnosis[sunting | sunting sumber]

Temuan LCS dalam berbagai bentuk meningitis[26]
Jenis meningitis   Glukosa   Protein Sell
Bakteri akut rendah tinggi PMNs,
terkadang > 300/mm³
Viral akut normal normal atau tinggi mononuclear,
< 300/mm³
Tuberculous rendah tinggi mononuclear dan
PMNs, < 300/mm³
Fungal rendah tinggi < 300/mm³
Malignant rendah tinggi biasanya
mononuclear

Pemeriksaan darah dan pencitraan[sunting | sunting sumber]

Apabila seseorang dicurigai mengalami meningitis, pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat adanya peradangan (misalnya C-reactive protein, perhitungan darah lengkap), serta kultur darah.[3][27] Pemeriksaan yang paling penting untuk mengidentifikasikan atau menyingkirkan adanya meningitis adalah analisis likuor serebrospinalis melalui punksi lumbal (LP, spinal tap).[28] Namun, punksi lumbal tidak dianjurkan bila terdapat massa di dalam otak (tumor atau abses) atau tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat, karena bisa menyebabkan herniasi otak. Bila seseorang berisiko karena adanya massa di dalam otak atau peningkataan TIK (cedera kepala baru, gangguan sistem kekebalan tubuh yang sudah diketahui, tanda neurologis lokal, atau bukti peningkatan TIK berdasarkan pemeriksaan), CT scan atau MRI dianjurkan sebelum dilakukan punksi lumbal.[3][27][29] Hal ini terjadi pada 45% kasus pada dewasa.[4] Bila CT scan atau MRI diperlukan sebelum dilakukan lumbal punksi, atau bila lumbal punksi terbukti sulit dilakukan, panduan profesional menganjurkan agar antibiotik diberikan dahulu untuk mencegah keterlambatan pengobatan,[3] terutama apabila proses ini mungkin bisa memerlukan waktu lebih dari 30 menit.[27][29] CT scan atau MRI sering dilakukan pada tahap selanjutnya untuk menilai komplikasi dari meningitis.[1]

Pada meningitis yang berat, pemantauan elektrolit darah perlu dilakukan; contohnya, hiponatremia biasa ditemukan dalam meningitis bakteri, karena kombinasi berbagai faktor, termasuk dehidrasi, gangguan ekskresi dari hormon antidiuretik (SIADH), atau infus cairan intravena yang terlalu agresif.[4][30]

Lumbal punksi[sunting | sunting sumber]

Pewarnaan Gram meningokokus dari sebuah kultur yang menunjukkan bakteri Gram negatif (merah muda), sering kali berpasangan

Lumbal punksi dilakukan dengan mengatur posisi seseorang, biasanya berbaring pada satu sisi, memberikan anestesi lokal, dan menusukkan jarum ke dalam kantung dural (sebuah kantung di sekeliling tulang belakang) untuk mengumpulkan likuor serebrospinalis (LCS). Bila cairan ini sudah diperoleh, “tekanan pembukaan” dari CFS diukur dengan menggunakan sebuah manometer. Tekanan normal adalah antara 6 dan 18 cm air (cmH2O);[28], pada penderita meningitis bakteri, tekanan biasanya meningkat.[3][27] Pada meningitis kriptokokus, tekanan intrakranial sangat meningkat.[31] Gambaran awal cairan itu bisa memberikan petunjuk tentang infeksi: LCS yang keruh menunjukkan peningkatan kadar protein, sel darah putih dan sel darah merah dan/atau bakteri, dan oleh karena itu menunjukkan kemungkinan meningitis bakteri.[3]

Sampel LCS diperiksa untuk melihat keberadaan dan jenis sel darah putih, sel darah merah, kandungan protein dan kadar glukosa.[3] Pewarnaan Gram dari sampel bisa menunjukkan bakteri pada penderita meningitis bakteri, tetapi tidak adanya bakteri bukan berarti tidak terjadi meningitis bakteri karena bakteri itu hanya terlihat pada 60% kasus; angka ini turun sebesar 20% apabila antibiotik diberikan sebelum sampel diambil. Pewarnaan Gram juga kurang bisa diandalkan dalam infeksi khusus seperti listeriosis. Kultur mikrobiologis dari sampel lebih sensitif (menunjukkan adanya organisme pada 70–85% kasus) tetapi hasilnya baru bisa tersedia dalam waktu hingga 48 jam .[3] Jenis sel darah putih yang keberadaannya mendominasi menunjukkan apakah meningitis itu disebabkan bakteri (biasanya didominasi neutrofil) atau virus (biasanya didominasi limfosit),[3] walaupun pada awal penyakit, ini bukan selalu indikator yang bisa diandalkan. Yang agak jarang terjadi, dominasi eosinofil, menandakan di antaranya, etiologi parasit atau jamur.[23]

Konsentrasi glukosa dalam LCS normal adalah 40% diatas glukosa darah. Pada meningitis bakterial, kadar glukosa biasanya lebih rendah; oleh karena itu kadar glukosa LCS dibagi dengan glukosa darah (rasio glukosa LCS terhadap glukosa serum). Rasio ≤0,4 menunjukkan meningitis bakterial;[28] pada bayi baru lahir, level glukosa dalam LCS normalnya lebih tinggi, dan, oleh karena itu, rasio di bawah 0,6 (60%) dianggap abnormal.[3] Kadar asam laktat yang tinggi pada LCS menunjukkan kemungkinan meningitis bakterial yang lebih tinggi, demikian pula hitung sel darah putih yang lebih tinggi.[28] Bila kadar asam laktat kurang dari 35 mg/dl dan penderita belum mendapatkan antibiotik, hal ini bisa menyingkirkan kemungkinan meningitis bakterial.[32]

Berbagai pemeriksaan khusus lain bisa digunakan untuk membedakan berbagai jenis meningitis. Pemeriksaan aglutinasi lateks dapat positif pada meningitis yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis,Haemophilus influenzae, Escherichia coli dan streptokokus grup B; penggunaan pemeriksaan ini secara rutin tidak dianjurkan karena jarang mempengaruhi pengobatan, tetapi bisa digunakan apabila pemeriksaan lain tidak membantu. Demikian juga, pemeriksaan lisat limulus mungkin positif pada meningitis yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, tetapi penggunaannya terbatas kecuali pemeriksaan lain tidak membantu.[3] Polymerase chain reaction (PCR) adalah teknik yang digunakan untuk memperbesar jejak DNA bakteri yang sedikit untuk mendeteksi keberadaan DNA bakteri atau virus di dalam likuor serebrospinalis; pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik karena hanya dibutuhkan sejumlah kecil DNA dari agen penginfeksi yang dibutuhkan. Pemeriksaan ini bisa mengidentifikasi bakteri pada meningitis bakterial, dan bisa membantu dalam membedakan berbagai kasus meningitis virus (enterovirus, virus herpes simpleks 2 dan mumps bagi mereka yang tidak mendapatkan vaksinasi).[10] Serologi (identifikasi antibodi terhadap virus) mungkin bermanfaat pada meningitis virus.[10] Bila dicurigai menderita meningitis tuberkulosis, sampel diproses untuk pewarnaan Ziehl-Neelsen, yang memiliki sensitivitas rendah, dan kultur tuberkulosis, yang prosesnya memakan waktu lama; PCR semakin sering digunakan.[14] Diagnosis meningitis kriptokokus bisa dilakukan dengan biaya rendah dengan menggunakan pewarnaan tinta india dari LCS; namun, pemeriksaan antigen kriptokokus di dalam darah atau LCS lebih sensitif, terutama bagi orang yang menderita AIDS.[33][34]

Kesulitan diagnostik dan terapeutik ditemukan pada “meningitis yang diobati sebagian”, di mana gejala meningitis timbul setelah diberi antibiotik (seperti untuk sinusitis berdasarkan dugaan). Bila ini terjadi, hasil temuan LCS mungkin menyerupai meningitis virus, tetapi pengobatan meningitis mungkin perlu dilanjutkan sampai ada bukti positif pasti penyebabnya adalah virus (misalnya PCR enterovirus positif).[10]

Otopsi[sunting | sunting sumber]

Histopatologi meningitis bakterial: kasus otopsi seseorang dengan meningitis pneumokokus menunjukkan infiltrat radang pada pia mater yang terdiri dari granulosit neutrofil (inset, pembesaran lebih tinggi).

Meningitis bisa didiagnosis setelah kematian terjadi. Hasil temuan dari otopsi biasanya berupa peradangan yang luas pada pia mater dan lapisan araknoid dari meningen. Granulosit neutrofil cenderung sudah berpindah ke LCS dan dasar otak, selain itu saraf kranial dan tulang belakang, bisa dikelilingi dengan pus — demikian juga dengan pembuluh darah meningen.[35]

Pencegahan[sunting | sunting sumber]

Vaksinasi pada anak-anak.

Untuk beberapa kasus meningitis, perlindungan jangka panjang dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi, atau jangka pendek dengan penggunaan antibiotik. Beberapa perubahan perilaku dapat juga efektif.

Perilaku[sunting | sunting sumber]

Meningitis bakteri dan virus bersifat menular; namun, keduanya tidak semenular selesma atau flu.[36] Keduanya bisa ditularkan melalui droplet dari sekret pernapasan selama kontak dekat seperti ciuman, bersin atau batuk, tetapi tidak bisa disebarkan hanya dengan menghirup udara di mana seorang penderita meningitis berada.[36] Meningitis virus biasanya disebabkan oleh enterovirus, dan paling sering disebarkan melalui kontaminasi tinja.[36] Risiko infeksi bisa diturunkan dengan mengubah perilaku yang menyebabkan penularan.

Vaksinasi[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1980an, banyak negara sudah memasukkan imunisasi terhadap Haemophilus influenzae B dalam program vaksinasi rutin anak. Hal ini secara praktis telah menghilangkan patogen jenis ini sebagai penyebab meningitis pada anak di negara-negara tersebut. Di negara dengan angka penyakit yang tertinggi, harga vaksin tersebut masih terlalu mahal.[37][38] Demikian juga, imunisasi terhadap penyakit mumps telah menyebabkan penurunan bermakna jumlah kasus meningitis mumps, yang sebelum vaksinasi terjadi pada 15% dari semua kasus mumps.[10]

Vaksin meningokokus tersedia untuk grup A, C, W135 dan Y.[39] Di negara-negara di mana vaksin untuk meningitis C diperkenalkan, kasus-kasus yang disebabkan oleh patogen ini sudah jauh menurun.[37] Saat ini tersedia vaksin kuadrivalen, yang menggabungkan keempat jenis vaksin itu. Imunisasi dengan vaksin ACW135Y terhadap keempat jenis meningitis sekarang dijadikan persyaratan visa agar bisa ikut serta menunaikan ibadah haji.[40] Pengembangan vaksin untuk meningitis grup B terbukti jauh lebih sulit, karena protein permukaannya (yang biasanya digunakan untuk membuat vaksin) hanya menimbulkan respon dari sistem kekebalan tubuh yang lemah, atau bereaksi silang dengan protein manusia normal.[37][39] Namun, beberapa negara yaitu (Selandia Baru, Kuba, Norwegia dan Chili) telah mengembangkan vaksin untuk meningitis grup B jenis lokal; beberapa sudah memberikan hasil yang bagus dan digunakan dalam program imunisasi lokal.[39] Baru-baru ini di Afrika, pencegahan dan pengontrolan epidemik dari meningitis dilakukan dengan deteksi awal penyakit dan vaksinasi massal reaktif darurat pada penduduk yang berisiko dengan vaksin polisakarida bivalen A/C atau trivalent A/C/W135,[41] meskipun vaksin MenAfriVac (vaksin meningitis grup A) telah menunjukkan efektivitas pada orang muda dan sudah dideskripsikan sebagai model untuk kemitraan pengembangan produk pada keadaan sumber daya yang terbatas.[42][43]

Vaksinasi rutin terhadap Streptococcus pneumoniae dengan vaksin pneumokokus konjugat (PCV), yang aktif melawan tujuh serotipe umum dari patogen ini, telah jauh menurunkan kejadian meningitis pneumokokus.[37][44] Vaksin pneumokokus polisakarida, yang mencakup 23 jenis, hanya diberikan pada kelompok tertentu (misalnya: mereka yang mengalami splenektomi, pengangkatan limpa lewat operasi); vaksin ini tidak memberikan respon kekebalan tubuh yang berarti pada semua penerima, misalnya anak kecil.[44] Vaksinasi anak-anak dengan Bacillus Calmette-Guérin sudah dilaporkan jauh menurunkan angka meningitis tuberkulosis, tetapi efektivitasnya yang menurun pada orang dewasa telah mendorong pencarian vaksin yang lebih baik.[37]

Antibiotik[sunting | sunting sumber]

Profilaksis antibiotik jangka pendek adalah sebuah metode pencegahan lain, terutama untuk meningitis meningokokus. Pada kasus meningitis meningokokus, pengobatan profilaksis pada orang yang berkontak erat dengan antibiotik (misalnya rifampisin, siprofloksasin atau seftriakson) bisa menurunkan risiko mereka untuk menderita penyakit tersebut, tetapi tidak melindungi terhadap infeksi di kemudian hari.[27][45] Resistensi terhadap rifampisin mulai meningkat sejak digunakan, sehingga dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan antibiotik lain.[45] Walaupun antibiotik sering digunakan dalam upaya untuk mecegah meningitis pada mereka yang mengalami fraktur tulang tengkorak basilar tidak ada cukup bukti untuk menentukan apakah hal ini bermanfaat atau membahayakan.[46] Hal ini berlaku baik bagi mereka yang mengalami kebocoran LCS maupun yang tidak.[46]

Tata laksana[sunting | sunting sumber]

Meningitis berpotensi mengancam nyawa dan memiliki tingkat mortalitas yang tinggi bila tidak diobati;[3] penundaan dalam pengobatan sudah dikaitkan dengan hasil yang kurang baik.[4] Oleh karena itu, pengobatan dengan antibiotik spektrum luas tidak boleh ditunda sementara pemeriksaan untuk memastikan sedang dilakukan.[29] Bila penyakit meningokokus dicurigai pada perawatan primer, panduan merekomendasikan agar benzil penisilin diberikan sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit.[7] Cairan Intravena hendaknya diberikan bila pasien mengalami hipotensi (tekanan darah rendah) atau syok.[29] Karena meningitis bisa menyebabkan sejumlah komplikasi berat dini, tinjauan medis teratur direkomendasikan untuk mengidentifikasikan komplikasi-komplikasi ini pada tahap awal [29] dan untuk merawat penderita tersebut di unit rawat intensif apabila dianggap perlu.[4] Ventilasi mekanik mungkin diperlukan apabila tingkat kesadaran sangat rendah, atau bila ada bukti gagal napas. Bila ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakanial, tindakan untuk memantau tekanan bisa dilakukan; ini akan memungkinkan optimisasi dari tekanan perfusi serebral dan berbagai pengobatan untuk menurunkan tekanan intrakanial dengan obat-obatan (misalnya mannitol).[4] Kejang diobati dengan obat antikonvulsi.[4] Hidrosefalus (gangguan aliran LCS) mungkin memerlukan insersi kateter sementara atau jangka panjang, seperti serebral.[4]

Meningitis Bakterial[sunting | sunting sumber]

Antibiotik[sunting | sunting sumber]

Formula struktur setriakson, salah satu antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang direkomendasikan untuk pengobatan awal meningitis bakteri.

Antibiotik empiris (pengobatan tanpa diagnosis yang pasti) hendaknya langsung diberikan, meskipun sebelum diketahui hasil punksi lumbal dan analisis LCS. Pilihan pengobatan awal sebagian besar bergantung pada jenis bakteri yang menyebabkan meningitis di suatu tempat dan populasi tertentu. Contohnya, di Inggris pengobatan empiris terdiri dari sefalosporin generasi ketiga seperti sefotaksim atau seftriakson.[27][29] Di Amerika Serikat, di mana resistensi terhadap sefalosporin semakin banyak ditemukan pada streptokokus, penambahan vankomisin untuk pengobatan awal dianjurkan.[3][4][27] Namun, kloramfenikol, baik sendiri maupun digabungkan dengan ampisilin tampaknya bekerja sama baiknya.[47]

Terapi empiris bisa dipilih berdasarkan usia penderita, apakah infeksi didahului dengan cedera kepala, apakah penderita menjalani bedah saraf baru-baru ini dan apakah terdapat shunt serebral atau tidak.[3] Di kalangan anak dan orang berusia di atas 50 tahun, serta mereka yang kekebalan tubuh yang terganggu, penambahan ampisilin dianjurkan untuk mencakup Listeria monocytogenes.[3][27] Setelah hasil pewarnaan Gram tersedia, dan jenis bakteri penyebab secara pasti telah diketahui, antibiotik yang diberikan mungkin bisa diganti dengan yang lebih cocok untuk mengatasi kelompok patogen yang diduga menyebabkannya.[3] Hasil LCS kultur biasanya perlu waktu yang lebih lama (24–48 jam). Setelah tersedia, terapi empiris bisa dialihkan menjadi terapi antibiotik khusus dengan target organisme penyebab khusus dan sensitivitasnya terhadap antibiotik.[3] Agar efektif untuk mengobati meningitis, antibiotik tidak boleh hanya aktif untuk bakteri patogen tetapi juga harus bisa mencapai selaput otak dalam jumlah yang memadai; beberapa antibiotik memiliki penetrasi yang tidak memadai dan oleh karena itu tidak begitu berguna dalam menangani meningitis. Kebanyakan antibiotik yang digunakan untuk meningitis belum diuji langsung pada pasien meningitis dalam bentuk uji klinis. Pengetahuan relevan kebanyakan diperoleh dari studi laboratorium pada kelinci.[3] Meningitis tuberkulosis memerlukan pengobatan dalam waktu lama dengan antibiotik. Sementara tuberkulosis paru-paru biasanya diobati selama enam bulan, mereka yang menderita meningitis tuberkulosis biasanya diobati selama setahun atau lebih.[14]

Steroid[sunting | sunting sumber]

Pengobatan ajuvan dengan kortikosteroid (biasanya deksametason) sudah menunjukkan beberapa manfaat, seperti pengurangan derajat hilang pendengaran,[48] dan luaran jangka pendek neurologis yang lebih baik[49] pada remaja dan dewasa dari negara-negara berpenghasilan tinggi dengan angka HIV rendah.[50] Beberapa penelitian memperlihatkan adanya penurunan angka kematian [50] sedangkan penelitian lain tidak memperlihatkan hal yang serupa.[49] Pengobatan ini tampaknya juga bermanfaat untuk meningitis tuberkulosis, setidaknya bagi mereka dengan HIV negatif.[51]

Oleh karena itu panduan professional menganjurkan deksametason atau kortikosteroid lain mulai diberikan sebelum dosis pertama antibiotik diberikan, dan dilanjutkan selama empat  hari.[27][29] Karena sebagian besar manfaat pengobatan terbatas pada pasien yang mengalami meningitis pneumokokus, beberapa panduan menyarankan agar deksametason tidak dilanjutkan apabila diketahui penyebab lain dari meningitis.[3][27] Mekanisme yang terjadi adalah penekanan terhadap radang yang berlebihan.[52]

Kortikosteroid ajuvan memiliki peran yang berbeda pada anak dan dewasa. Walaupun manfaat kortikosteroid sudah terbukti untuk orang dewasa serta anak dari negara berpenghasilan tinggi, penggunaannya untuk anak pada negara-negara berpenghasilan rendahtidak didukung dengan bukti nyata; alasan untuk perbedaan ini tidak jelas.[49] Bahkan di negara berpenghasilan tinggi, manfaat kortikosteroid hanya terlihat bila diberikan sebelum dosis pertama antibiotik, dan manfaat terbesar terlihat dalam kasus meningitis H. influenzae,[3][53] insidennya sudah menurun secara dramatis sejak Vaksin hib diperkenalkan. Jadi, kortikosteroid direkomendasikan dalam pengobatan meningitis apabila kasusnya adalah H. influenzae, dan hanya bila diberikan sebelum dosis pertama antibiotik; penggunaan lain masih kontroversial.[3]

Meningitis virus[sunting | sunting sumber]

Meningitis virus pada umumnya hanya memerlukan terapi suportif; sebagian besar virus yang menyebabkan meningitis tidak bereaksi dengan pengobatan khusus. Meningitis virus cenderung tidak separah meningitis bakterial. Virus herpes simpleks dan virus varisela zoster bisa memberikan respon terhadap pengobatan dengan obat antivirus seperti asiklovir, tetapi belum ada uji klinis khusus yang meneliti apakah pengobatan ini efektif.[10] Kasus ringan meningitis virus bisa diobati di rumah dengan tindakan konservatif seperti cairan, istirahat total dan analgesik.[54]

Meningitis jamur[sunting | sunting sumber]

Meningitis jamur, seperti meningitis kriptokokus, diobati dengan anti jamur dosis tinggi, seperti amphotericin B dan flusitosin dalam waktu lama.[33][55] Peningkatan tekanan intrakranial sering dijumpai pada meningitis jamur, dan punksi lumbal yang sering (idealnya setiap hari) dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial,[33] atau sebagai alternatifnya dipasang drain lumbal.[31]

Prognosis[sunting | sunting sumber]

Disability Adjusted Life Year untuk meningitis per 100,000 penduduk pada tahun 2004.[56]
  no data
  <10
  10-25
  25-50
  50-75
  75-100
  100-200
  200-300
  300-400
  400-500
  500-750
  750–1000
  >1000

Bila tidak diobati, meningitis bakterial hampir selalu fatal. Meningitis virus, sebaliknya, cenderung sembuh sendiri dan jarang fatal. Dengan pengobatan, mortalitas (risiko kematian) meningitis bakterial bergantung pada usia penderita dan penyebab yang mendasari. Pada bayi baru lahir, 20–30% mungkin meninggal karena meningitis bakterial. Risiko ini lebih rendah pada anak yang lebih tua, dengan mortalitas sekitar 2%, namun risiko meningkat lagi menjadi sekitar 19–37% pada dewasa.[1][4] Risiko kematian diprediksikan dengan berbagai faktor selain usia, seperti patogen yang terlibat dan waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan patogen dari likuor serebrospinalis,[1] beratnya penyakit secara umum, penurunan kesadaran atau hitung sel darah putih yang sangat rendah pada LCS.[4] Meningitis yang disebabkan oleh H. influenzae dan meningokokus memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan kasus yang disebabkan oleh Streptokokus grup B, koliform dan S. pneumonia.[1] Pada dewasa, meningitis meningokokus juga mempunyai mortalitas yang lebih rendah (3–7%) dibandingkan penyakit pneumokokus.[4]

Pada anak, ada beberapa potensi cacat yang mungkin disebabkan oleh kerusakan dari sistem saraf, termasuk tuli sensorineural, epilepsi, gangguan belajar dan kesulitan perilaku, serta menurunnya kecerdasan.[1] Hal ini terjadi pada sekitar 15% dari pasien yang sembuh.[1] Sebagian dari pendengaran yang hilang mungkin bisa kembali.[57] Pada dewasa, 66% kasus tidak menimbulkan kecacatan. Masalah utamanya adalah tuli (terjadi pada 14% kasus) dan gangguan kognitif (terjadi pada 10% kasus).[4]

Epidemiologi[sunting | sunting sumber]

Demografi dari meningitis meningokokus.
  meningitis belt
  epidemic zones
  sporadic cases only

Meskipun meningitis adalah suatu penyakit yang harus dilaporkan di banyak negara, insidens sebenarnya masih belum diketahui.[10] Meningitis bakterial terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya di negara-negara Barat. Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa meningitis virus lebih sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang, dan lebih sering terjadi pada musim panas. Di Brasil, angka meningitis bakterial lebih tinggi, yaitu 45,8 per 100,000 orang setiap tahun.[6] Afrika Sub-Sahara sudah mengalami epidemik meningitis meningokokus yang luas selama lebih dari satu abad,[58] sehingga disebut “sabuk meningitis”. Epidemik biasanya terjadi dalam musim kering (Desember sampai Juni), dan gelombang epidemik bisa berlangsung dua atau tiga tahun, mereda selama musim hujan.[59] Angka serangan dari 100–800 kasus per 100.000 orang terjadi di daerah ini,[60] yang kurang terlayani oleh pelayanan medis. Kasus-kasus ini sebagian besar disebabkan oleh meningokokus.[6] Epidemik terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah melanda seluruh wilayah ini pada 1996–1997, yang menyebabkan lebih dari 250.000 kasus dan 25.000 kematian.[61]

Epidemik penyakit meningokokus terjadi di daerah-daerah di mana orang tinggal bersama untuk pertama kalinya, seperti barak tentara selama mobilisasi, kampus perguruan tinggi[1] dan ziarah Haji tahunan.[40] Walaupun pola siklus epidemik di Afrika tidak dipahami dengan baik, beberapa faktor sudah dikaitkan dengan perkembangan epidemik di daerah sabuk meningits. Faktor-faktor itu termasuk: kondisi medis (kerentanan kekebalan tubuh penduduk), kondisi demografis (perjalanan dan perpindahan penduduk dalam jumlah besar), kondisi sosial ekonomi (penduduk yang terlalu padat dan kondisi kehidupan yang miskin), kondisi iklim (kekeringan dan badai debu), dan infeksi konkuren (infeksi pernafasan akut).[60]

Ada perbedaan signifikan dalam distribusi lokal untuk kasus meningitis bakterial. Contohnya, N. meningitides grup B dan C menyebabkan kebanyakan penyakit di Eropa, sedangkan grup A ditemukan di Asia dan selalu menonjol di Afrika, di mana bakteri ini menyebabkan kebanyakan epidemik besar di daerah sabuk meningitis, yaitu sekitar 80% hingga 85% kasus meningitis meningokokus yang didokumentasikan.[60]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Beberapa mengatakan bahwa Hippocrates mungkin sudah menyadari keberadaan meningitis,[6] dan tampaknya meningisme sudah dikenal oleh dokter sebelum zaman Renaisans, seperti Avicenna.[62] Deskripsi meningitis tuberkulosis, yang saat itu disebut "edema di dalam otak", sering dihubungkan dengan dokter Edinburg Sir Robert Whytt dalam laporan posthumous yang muncul pada 1768, meskipun hubungan dengan tuberkulosis dan patogennya tidak dibuat sampai abad berikutnya.[62][63]

Tampaknya epidemik meningitis adalah fenomena yang cukup baru.[64] Wabah besar pertama yang tercatat muncul di Jenewa pada 1805.[64][65] Beberapa epidemik lain di Eropa dan Amerika Serikat dideskripsikan sesaat sesudah itu, dan laporan pertama epidemik di Afrika muncul 1840. Epidemik Afrika menjadi lebih sering pada abad ke 20 , dimulai dengan epidemik besar yang menyerang Nigeria dan Ghanapada 1905–1908.[64] Laporan pertama infeksi bakteri yang menyebabkan meningitis adalah oleh seorang bakteriologis Austria Anton Weichselbaum, yang pada 1887 mendeksripsikan meningokokus.[66] Mortalitas dari meningitis sangat tinggi (lebih dari 90%) pada laporan-laporan awal. Pada 1906, antiserum diproduksi di kuda; hal ini dikembangkan lebih lanjut oleh seorang ilmuwan Amerika Simon Flexner dan secara nyata menurunkan mortalitas dari penyakit meningokokus.[67][68] Pada 1944, penisilin pertama kali dilaporkan efektif untuk mengobati meningitis.[69] Pengenalan vaksin Haemophilus di akhir abad ke-20 menyebabkan penurunan berarti dalam kasus meningitis yang dikaitkan dengan patogen ini,[38] dan pada 2002, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pengobatan dengan steroid dapat memperbaiki prognosis meningitis bakteri.[49][52][68]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z Sáez-Llorens X, McCracken GH (2003). "Bacterial meningitis in children". Lancet. 361 (9375): 2139–48. doi:10.1016/S0140-6736(03)13693-8. PMID 12826449. 
  2. ^ a b c d e f g Ginsberg L (2004). "Difficult and recurrent meningitis" (PDF). Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry. 75 Suppl 1 (90001): i16–21. doi:10.1136/jnnp.2003.034272. PMC 1765649alt=Dapat diakses gratis. PMID 14978146. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab Tunkel AR; Hartman BJ; Kaplan SL; et al. (2004). "Practice guidelines for the management of bacterial meningitis" (PDF). Clinical Infectious Diseases. 39 (9): 1267–84. doi:10.1086/425368. PMID 15494903. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u van de Beek D, de Gans J, Tunkel AR, Wijdicks EF (2006). "Community-acquired bacterial meningitis in adults". The New England Journal of Medicine. 354 (1): 44–53. doi:10.1056/NEJMra052116. PMID 16394301. 
  5. ^ a b van de Beek D, de Gans J, Spanjaard L, Weisfelt M, Reitsma JB, Vermeulen M (2004). "Clinical features and prognostic factors in adults with bacterial meningitis" (PDF). The New England Journal of Medicine. 351 (18): 1849–59. doi:10.1056/NEJMoa040845. PMID 15509818. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k Attia J, Hatala R, Cook DJ, Wong JG (1999). "The rational clinical examination. Does this adult patient have acute meningitis?". Journal of the American Medical Association. 282 (2): 175–81. doi:10.1001/jama.282.2.175. PMID 10411200. 
  7. ^ a b c Theilen U, Wilson L, Wilson G, Beattie JO, Qureshi S, Simpson D (2008). "Management of invasive meningococcal disease in children and young people: Summary of SIGN guidelines". BMJ (Clinical research ed.). 336 (7657): 1367–70. doi:10.1136/bmj.a129. PMC 2427067alt=Dapat diakses gratis. PMID 18556318. 
  8. ^ Management of invasive meningococcal disease in children and young people (PDF). Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). 2008. ISBN 978-1-905813-31-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-07-09. Diakses tanggal 2013-08-12. 
  9. ^ Thomas KE, Hasbun R, Jekel J, Quagliarello VJ (2002). "The diagnostic accuracy of Kernig's sign, [[Brudzinski neck sign]], and nuchal rigidity in adults with suspected meningitis" (PDF). Clinical Infectious Diseases. 35 (1): 46–52. doi:10.1086/340979. PMID 12060874.  Konflik URL–wikilink (bantuan)
  10. ^ a b c d e f g h Logan SA, MacMahon E (2008). "Viral meningitis". BMJ (Clinical research ed.). 336 (7634): 36–40. doi:10.1136/bmj.39409.673657.AE. PMC 2174764alt=Dapat diakses gratis. PMID 18174598. 
  11. ^ Varon J, Chen K, Sternbach GL (1998). "Rupert Waterhouse and Carl Friderichsen: adrenal apoplexy". J Emerg Med. 16 (4): 643–7. doi:10.1016/S0736-4679(98)00061-4. PMID 9696186. 
  12. ^ Hsu HE; Shutt KA; Moore MR; et al. (2009). "Effect of pneumococcal conjugate vaccine on pneumococcal meningitis". N Engl J Med. 360 (3): 244–256. doi:10.1056/NEJMoa0800836. PMID 19144940. 
  13. ^ Wei BP, Robins-Browne RM, Shepherd RK, Clark GM, O'Leary SJ (2008). "Can we prevent cochlear implant recipients from developing pneumococcal meningitis?" (PDF). Clin. Infect. Dis. 46 (1): e1–7. doi:10.1086/524083. PMID 18171202. 
  14. ^ a b c Thwaites G, Chau TT, Mai NT, Drobniewski F, McAdam K, Farrar J (2000). "Tuberculous meningitis" (PDF). Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry. 68 (3): 289–99. doi:10.1136/jnnp.68.3.289. PMC 1736815alt=Dapat diakses gratis. PMID 10675209. 
  15. ^ a b c d e Tebruegge M, Curtis N (2008). "Epidemiology, etiology, pathogenesis, and diagnosis of recurrent bacterial meningitis". Clinical Microbiology Reviews. 21 (3): 519–37. doi:10.1128/CMR.00009-08. PMC 2493086alt=Dapat diakses gratis. PMID 18625686. 
  16. ^ Raman Sharma R (2010). "Fungal infections of the nervous system: current perspective and controversies in management". International journal of surgery (London, England). 8 (8): 591–601. doi:10.1016/j.ijsu.2010.07.293. PMID 20673817. 
  17. ^ a b c Sirven JI, Malamut BL (2008). Clinical neurology of the older adult (edisi ke-2nd ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 439. ISBN 9780781769471. 
  18. ^ Honda H, Warren DK (2009 Sep). "Central nervous system infections: meningitis and brain abscess". Infectious disease clinics of North America. 23 (3): 609–23. doi:10.1016/j.idc.2009.04.009. PMID 19665086. 
  19. ^ Kauffman CA, Pappas PG, Patterson TF (19 October 2012). "Fungal infections associated with contaminated methyprednisolone injections—preliminary report". New England Journal of Medicine. Online first. doi:10.1056/NEJMra1212617. 
  20. ^ Kauffman CA, Pappas PG, Sobel JD, Dismukes WE. Essentials of clinical mycology (edisi ke-2nd ed.). New York: Springer. hlm. 77. ISBN 9781441966391. 
  21. ^ Kauffman CA, Pappas PG, Sobel JD, Dismukes WE. Essentials of clinical mycology (edisi ke-2nd ed.). New York: Springer. hlm. 31. ISBN 9781441966391. 
  22. ^ Park, Benjamin J (1 February 2009). "Estimation of the current global burden of cryptococcal meningitis among persons living with HIV/AIDS". AIDS. 23 (4): 525–530. doi:10.1097/QAD.0b013e328322ffac. PMID 19182676. 
  23. ^ a b Graeff-Teixeira C, da Silva AC, Yoshimura K (2009). "Update on eosinophilic meningoencephalitis and its clinical relevance" (PDF). Clinical Microbiology Reviews. 22 (2): 322–48. doi:10.1128/CMR.00044-08. PMC 2668237alt=Dapat diakses gratis. PMID 19366917. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-02-03. Diakses tanggal 2013-08-12. 
  24. ^ Gleissner B, Chamberlain MC (2006). "Neoplastic meningitis". Lancet Neurol. 5 (5): 443–52. doi:10.1016/S1474-4422(06)70443-4. PMID 16632315. 
  25. ^ Moris G, Garcia-Monco JC (1999). "The Challenge of Drug-Induced Aseptic Meningitis" (PDF). Archives of Internal Medicine. 159 (11): 1185–94. doi:10.1001/archinte.159.11.1185. PMID 10371226. 
  26. ^ Provan, Drew (2005). Oxford Handbook of Clinical and Laboratory Investigation. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-856663-8. 
  27. ^ a b c d e f g h i j Chaudhuri A; Martinez–Martin P; Martin PM; et al. (2008). "EFNS guideline on the management of community-acquired bacterial meningitis: report of an EFNS Task Force on acute bacterial meningitis in older children and adults". European Journal of Neurolology. 15 (7): 649–59. doi:10.1111/j.1468-1331.2008.02193.x. PMID 18582342. 
  28. ^ a b c d Straus SE, Thorpe KE, Holroyd-Leduc J (2006). "How do I perform a lumbar puncture and analyze the results to diagnose bacterial meningitis?". Journal of the American Medical Association. 296 (16): 2012–22. doi:10.1001/jama.296.16.2012. PMID 17062865. 
  29. ^ a b c d e f g Heyderman RS, Lambert HP, O'Sullivan I, Stuart JM, Taylor BL, Wall RA (2003). "Early management of suspected bacterial meningitis and meningococcal septicaemia in adults" (PDF). The Journal of infection. 46 (2): 75–7. doi:10.1053/jinf.2002.1110. PMID 12634067. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-07-25. Diakses tanggal 2013-08-12.  – formal guideline at British Infection Society & UK Meningitis Research Trust (2004). "Early management of suspected meningitis and meningococcal septicaemia in immunocompetent adults". British Infection Society Guidelines. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-19. Diakses tanggal 2008-10-19. 
  30. ^ Maconochie I, Baumer H, Stewart ME (2008). MacOnochie, Ian K, ed. "Fluid therapy for acute bacterial meningitis". Cochrane Database of Systematic Reviews (1): CD004786. doi:10.1002/14651858.CD004786.pub3. PMID 18254060. CD004786. 
  31. ^ a b Perfect JR, Dismukes WE, Dromer F; et al. (2010). "Clinical practice guidelines for the management of cryptococcal disease: 2010 update by the infectious diseases society of america". Clinical Infectious Diseases. 50 (3): 291–322. doi:10.1086/649858. PMID 20047480. 
  32. ^ Sakushima, K (2011 Apr). "Diagnostic accuracy of cerebrospinal fluid lactate for differentiating bacterial meningitis from aseptic meningitis: a meta-analysis". The Journal of infection. 62 (4): 255–62. doi:10.1016/j.jinf.2011.02.010. PMID 21382412. 
  33. ^ a b c Bicanic T, Harrison TS (2004). "Cryptococcal meningitis" (PDF). British Medical Bulletin. 72 (1): 99–118. doi:10.1093/bmb/ldh043. PMID 15838017. 
  34. ^ Sloan D, Dlamini S, Paul N, Dedicoat M (2008). Sloan, Derek, ed. "Treatment of acute cryptococcal meningitis in HIV infected adults, with an emphasis on resource-limited settings". Cochrane Database of Systematic Reviews (4): CD005647. doi:10.1002/14651858.CD005647.pub2. PMID 18843697. CD005647. 
  35. ^ Warrell DA, Farrar JJ, Crook DWM (2003). "24.14.1 Bacterial meningitis". Oxford Textbook of Medicine Volume 3 (edisi ke-Fourth). Oxford University Press. hlm. 1115–29. ISBN 0-19-852787-X. 
  36. ^ a b c "CDC – Meningitis: Transmission". Centers for Disease Control and Prevention (CDC). August 6, 2009. Diakses tanggal 18 June 2011. 
  37. ^ a b c d e Segal S, Pollard AJ (2004). "Vaccines against bacterial meningitis" (PDF). British Medical Bulletin. 72 (1): 65–81. doi:10.1093/bmb/ldh041. PMID 15802609. 
  38. ^ a b Peltola H (2000). "Worldwide Haemophilus influenzae type b disease at the beginning of the 21st century: global analysis of the disease burden 25 years after the use of the polysaccharide vaccine and a decade after the advent of conjugates" (PDF). Clinical Microbiology Reviews. 13 (2): 302–17. doi:10.1128/CMR.13.2.302-317.2000. PMC 100154alt=Dapat diakses gratis. PMID 10756001. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-07-08. Diakses tanggal 2013-08-12. 
  39. ^ a b c Harrison LH (2006). "Prospects for vaccine prevention of meningococcal infection" (PDF). Clinical Microbiology Reviews. 19 (1): 142–64. doi:10.1128/CMR.19.1.142-164.2006. PMC 1360272alt=Dapat diakses gratis. PMID 16418528. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-07-08. Diakses tanggal 2013-08-12. 
  40. ^ a b Wilder-Smith A (2007). "Meningococcal vaccine in travelers". Current Opinion in Infectious Diseases. 20 (5): 454–60. doi:10.1097/QCO.0b013e3282a64700. PMID 17762777. 
  41. ^ WHO (2000). "Detecting meningococcal meningitis epidemics in highly-endemic African countries" (PDF). Weekly Epidemiological Record. 75 (38): 306–9. PMID 11045076. 
  42. ^ Bishai, DM (2011 Jun). "Product development partnerships hit their stride: lessons from developing a meningitis vaccine for Africa". Health affairs (Project Hope). 30 (6): 1058–64. doi:10.1377/hlthaff.2011.0295. PMID 21653957. 
  43. ^ Marc LaForce, F (2009 Jun 24). "Epidemic meningitis due to Group A Neisseria meningitidis in the African meningitis belt: a persistent problem with an imminent solution". Vaccine. 27 Suppl 2: B13–9. doi:10.1016/j.vaccine.2009.04.062. PMID 19477559. 
  44. ^ a b Weisfelt M, de Gans J, van der Poll T, van de Beek D (2006). "Pneumococcal meningitis in adults: new approaches to management and prevention". Lancet Neurol. 5 (4): 332–42. doi:10.1016/S1474-4422(06)70409-4. PMID 16545750. 
  45. ^ a b Zalmanovici Trestioreanu, A (2011 Aug 10). "Antibiotics for preventing meningococcal infections". Cochrane database of systematic reviews (Online) (8): CD004785. doi:10.1002/14651858.CD004785.pub4. PMID 21833949. 
  46. ^ a b Ratilal, BO (2011 Aug 10). "Antibiotic prophylaxis for preventing meningitis in patients with basilar skull fractures". Cochrane database of systematic reviews (Online) (8): CD004884. doi:10.1002/14651858.CD004884.pub3. PMID 21833952. 
  47. ^ Prasad, K (2007 Oct 17). "Third generation cephalosporins versus conventional antibiotics for treating acute bacterial meningitis". Cochrane database of systematic reviews (Online) (4): CD001832. doi:10.1002/14651858.CD001832.pub3. PMID 17943757. 
  48. ^ van de Beek D (2010). "Adjunctive dexamethasone in bacterial meningitis: a meta-analysis of individual patient data". Lancet Neurol. 9 (3): 254–63. doi:10.1016/S1474-4422(10)70023-5. PMC 2835871alt=Dapat diakses gratis. PMID 20138011. 
  49. ^ a b c d Brouwer MC, McIntyre P, de Gans J, Prasad K, van de Beek D (2010). Van De Beek, Diederik, ed. "Corticosteroids for acute bacterial meningitis". Cochrane Database of Systematic Reviews (9): CD004405. doi:10.1002/14651858.CD004405.pub3. PMID 20824838. CD004405. 
  50. ^ a b Assiri AM, Alasmari FA, Zimmerman VA, Baddour LM, Erwin PJ, Tleyjeh IM (2009). "Corticosteroid administration and outcome of adolescents and adults with acute bacterial meningitis: a meta-analysis". Mayo Clin. Proc. 84 (5): 403–9. doi:10.4065/84.5.403. PMC 2676122alt=Dapat diakses gratis. PMID 19411436. 
  51. ^ Prasad, K (2008 Jan 23). "Corticosteroids for managing tuberculous meningitis". Cochrane database of systematic reviews (Online) (1): CD002244. doi:10.1002/14651858.CD002244.pub3. PMID 18254003. 
  52. ^ a b de Gans J, van de Beek D (2002). "Dexamethasone in adults with bacterial meningitis" (PDF). The New England Journal of Medicine. 347 (20): 1549–56. doi:10.1056/NEJMoa021334. PMID 12432041. 
  53. ^ McIntyre PB; Berkey CS; King SM; et al. (1997). "Dexamethasone as adjunctive therapy in bacterial meningitis. A meta-analysis of randomized clinical trials since 1988". Journal of the American Medical Association. 278 (11): 925–31. doi:10.1001/jama.1997.03550110063038. PMID 9302246. 
  54. ^ "Meningitis and Encephalitis Fact Sheet". National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS). 2007-12-11. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-04. Diakses tanggal 2009-04-27. 
  55. ^ Gottfredsson M, Perfect JR (2000). "Fungal meningitis". Seminars in Neurology. 20 (3): 307–22. doi:10.1055/s-2000-9394. PMID 11051295. 
  56. ^ "Mortality and Burden of Disease Estimates for WHO Member States in 2002" (xls). World Health Organization (WHO). 2002. 
  57. ^ Richardson MP, Reid A, Tarlow MJ, Rudd PT (1997). "Hearing loss during bacterial meningitis" (PDF). Archives of Disease in Childhood. 76 (2): 134–38. doi:10.1136/adc.76.2.134. PMC 1717058alt=Dapat diakses gratis. PMID 9068303. 
  58. ^ Lapeyssonnie L (1963). "Cerebrospinal meningitis in Africa". Bulletin of the World Health Organization. 28: SUPPL:1–114. PMC 2554630alt=Dapat diakses gratis. PMID 14259333. 
  59. ^ Greenwood B (1999). "Manson Lecture. Meningococcal meningitis in Africa". Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 93 (4): 341–53. doi:10.1016/S0035-9203(99)90106-2. PMID 10674069. 
  60. ^ a b c World Health Organization (1998). Control of epidemic meningococcal disease, practical guidelines, 2nd edition, WHO/EMC/BA/98 (PDF). 3. hlm. 1–83. 
  61. ^ WHO (2003). "Detecting meningococcal meningitis epidemics in highly-endemic African countries" (PDF). Weekly Epidemiological Record. 78 (33): 294–6. PMID 14509123. 
  62. ^ a b Arthur Earl Walker, Edward R. Laws, George B. Udvarhelyi (1998). "Infections and inflammatory involvement of the CNS". The Genesis of Neuroscience. Thieme. hlm. 219–21. ISBN 1-879284-62-6. 
  63. ^ Whytt R (1768). Observations on the Dropsy in the Brain. Edinburgh: J. Balfour. 
  64. ^ a b c Greenwood B (2006). "100 years of epidemic meningitis in West Africa – has anything changed?" (PDF). Tropical Medicine & International health: TM & IH. 11 (6): 773–80. doi:10.1111/j.1365-3156.2006.01639.x. PMID 16771997. 
  65. ^ Vieusseux G (1806). "Mémoire sur le Maladie qui a regne à Génève au printemps de 1805". Journal de Médecine, de Chirurgie et de Pharmacologie (Bruxelles) (dalam bahasa French). 11: 50–53. 
  66. ^ Weichselbaum A (1887). "Ueber die Aetiologie der akuten Meningitis cerebro-spinalis". Fortschrift der Medizin (dalam bahasa German). 5: 573–583. 
  67. ^ Flexner S (1913). "The results of the serum treatment in thirteen hundred cases of epidemic meningitis" (PDF). J Exp Med. 17 (5): 553–76. doi:10.1084/jem.17.5.553. PMC 2125091alt=Dapat diakses gratis. PMID 19867668. 
  68. ^ a b Swartz MN (2004). "Bacterial meningitis—a view of the past 90 years". The New England Journal of Medicine. 351 (18): 1826–28. doi:10.1056/NEJMp048246. PMID 15509815. 
  69. ^ Rosenberg DH, Arling PA (1944). "Penicillin in the treatment of meningitis". Journal of the American Medical Association. 125 (15): 1011–17. doi:10.1001/jama.1944.02850330009002.  reproduced in Rosenberg DH, Arling PA (1984). "Penicillin in the treatment of meningitis". Journal of the American Medical Association. 251 (14): 1870–6. doi:10.1001/jama.251.14.1870. PMID 6366279. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]